Baca

Baca

Senin, 10 Maret 2014

“Mengapa Satu Disiplin Ilmu Saja Tidak Cukup…?: Lahirnya Cross-disipliner, Multidisipliner, Interdisipliner dan Transdisipliner"


Oleh: Candra Kusuma[i]

Saat ini, di sejumlah perguruan tinggi baik di dalam dan luar negeri, semakin banyak tumbuh pusat kajian dan bahkan jurusan studi yang bersifat extra-disipliner. Fenomena tersebut sesungguhnya juga tidak lepas dari berkembangnya gagasan dan kebutuhan akan studi extra-disciplinary[ii] pada disiplin ilmu lain, baik di ilmu alam, ilmu sosial, humaniora, dan lainnya. Tujuan dari semuanya itu pada dasarnya sama, yaitu untuk mengefektifkan upaya mencari jawaban yang lebih komprehensif atas persoalan-persoalan riil yang semakin kompleks dalam kehidupan manusia, yang tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh masing-masing disiplin ilmu, sehingga memerlukan dukungan, kerjasama, atau bahkan kolaborasi dan integrasi dengan berbagai disiplin ilmu tersebut. Saya menyebut kecenderungan tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena “arus balik epistemologi pengetahuan,” atau dalam istilah  Miller et.al. sebagai proses reorganisasi pengetahuan (reorganization of knowledge).[iii] Sebelumnya upaya “produksi pengetahuan” (epistemology) dilakukan dengan jalan memecah dan mengkotak-kotakkannya dalam berbagai disiplin ilmu.  Masing-masing disiplin kemudian menciptakan definisi dan metodenya sendiri-sendiri. Namun belakangan berkembang kesadaran baru bahwa kondisi tersebut juga beresiko membatasi upaya produksi pengetahuan itu sendiri. Disadari bahwa masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki keterbatasan dan terbukti tidak mampu memberikan pemahaman yang memadai mengenai alam semesta, yang kemudian membuatnya menjadi kurang efektif dalam memecahkan masalah kehidupan manusia yang semakin kompleks.


Disipliner dan Non-Disipliner

Ada banyak pendapat mengenai “disiplin” ilmu. Merujuk pada Grigg, Johnston dan Milsom[iv] yang mengutip Weingart dan Stehr (2000), “disiplin” (disciplinarity)[v] didefinisikan sebagai berikut:

Disiplin ilmu adalah mata melalui mana masyarakat modern melihat dan membentuk gambarannya tentang dunia, mengkerangkakan pengalamannya, dan belajar, sehingga dapat membentuk masa depan mereka sendiri atau merekonstruksi masa lalu. Disiplin adalah struktur intelektual di mana transfer pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya dibangun sedemikian rupa, yaitu dengan membentuk sistem pendidikan yang menyeluruh. Demikian juga, disiplin memiliki dampak yang besar pada struktur pekerjaan ... Akhirnya disiplin tidak hanya terkait dengan persoalan intelektual tetapi juga struktur sosial, organisasi manusia dengan kepentingan pribadi ... yang dapat membentuk dan juga menciptakan bias pandangan mereka tentang kepentingan relatif dari pengetahuan mereka... Dalam semua fungsi-fungsi ini, disiplin ilmu merupakan tatanan sosial modern dari pengetahuan.

Grigg, Johnston dan Milsom (2003:7) juga mengutip OECD (1998) yang menyatakan bahwa “disiplin” merupakan organisasi sosial untuk memproduksi pengetahuan, yang bervariasi dalam ukuran, struktur dan tujuan. Mereka juga berbeda dalam hal keterlibatan mereka dalam kegiatan lintas-disiplin. Selain itu “disiplin” membawa konotasi memiliki batas-batas yang cukup mapan dan dapat diidentifikasi, dengan aturan jelas mengenai apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang dapat diterima, serta rumusan masalah dan metodologi untuk menjawab masalah tersebut. “Disiplin” secara definisi pada dasarnya adalah bersifat konservatif, yang hanya menerima perubahan inkremental, dan menolak perubahan yang radikal atau revolusioner. “Disiplin” juga bersifat “solid,” di mana mereka mengandalkan ketertiban dan kontrol. Itulah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa pengetahuan yang mereka hasilkan dan sah dapat diandalkan. “Disiplin” juga cenderung bersifat resisten terhadap kritik dan inovasi.

Dapat disimpulkan, departementalisasi atau pembentukan disiplin ilmu berkaitan dengan upaya produksi pengetahuan. Merujuk pada pendapat van den Besselaar dan Heimeriks,[vi] sebelumnya produksi pengetahuan memang dominan dilakukan oleh dan di dalam masing-masing disiplin ilmu pengetahuan.[vii] Namun pada masyarakat modern ada tuntutan yang semakin besar untuk dikembangkannya pengetahuan yang lebih aplikatif, yang karenanya kemudian  memerlukan kombinasi dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Secara tradisional, “disiplin” memang telah sangat dominan mempengaruhi dan membentuk organisasi sistem ilmu pengetahuan, sistem penghargaan, dan sistem karir bagi para ilmuwan. Namun banyak pihak yang kemudian mendorong dan menekankan pentingnya relevansi sosial dari hasil penelitian, yang kemudian mendorong berkembangnya modus baru penelitian yang berorientasi aplikasi, selain penelitian akademis tradisional. Dengan kata lain, “sistem ilmu pengetahuan tidak hanya tumbuh dalam ukuran, namun struktur dan fungsinya berubah juga, baik dalam hal lokus penelitian, pola kolaborasi, maupun tujuan dari kegiatan ilmiah itu sendiri.

Van den Besselaar & Heimeriks mengutip analisis Gibbons et. al. (1994) mengenai dua modus produksi pengetahuan, sebagai berikut:
  • Mode pertama, adalah produksi “disiplin ilmu tradisional,” di mana kepentingan akademik dalam “pengetahuan murni”  berlaku. Tujuannya adalah untuk menghasilkan pengetahuan alam teoritis (fisik dan manusia). Lokus mode pertama adalah universitas yang diselenggarakan sepanjang garis disiplin di fakultas dan departemen/jurusan. Akibatnya adalah struktur organisasi dan praktisi menjadi homogen, hirarkis, dan relatif stabil. Kontrol terhadap kualitas pengetahuan dilakukan secara internal dengan peer review, dan berbasis sistem jurnal ilmiah masing-masing disiplin ilmu tersebut;
  • Mode kedua, adalah bersifat interdisipliner[viii] dan berorientasi untuk memproduksi pengetahuan yang aplikatif. Fokusnya tidak sepenuhnya berorientasi pada menjelajahi “hukum alam,” tetapi pada upaya belajar mengenai artefak dan pengoperasian sistem-sistem yang kompleks (complex systems). Contohnya adalah antara lain ilmu komputer, teknik kimia, dan bioteknologi. Mode ini lebih bersifat heterogen, sebagai satu set yang lebih luas dari organisasi dan jenis peneliti yang terlibat, beroperasi dalam konteks tertentu pada masalah tertentu. Berbagai bentuk organisasi yang berbeda hidup berdampingan dalam mode ini, dan penelitian tidak secara eksklusif dilakukan di perguruan tinggi. Sistem pengendalian kualitas adalah lebih luas, dan tidak hanya berdasarkan peer review atas makalah akademik, namun juga mencakup review atas kegunaan dan akuntabilitas sosial. Dalam mode ini sistem yang terbangun tidak bersifat hierarki (berjenjang) tetapi lebih bersifat heterarchical (koordinatif). Meskipun peran mode kedua ini semakin penting, namun tidak menggantikan mode pertama karena perkembangan pengetahuan di masing-masing disiplin juga masih dipandang sangat penting.

Terkait dengan upaya produksi pengetahuan tersebut adalah kegiatan studi atau penelitian. Van den Besselaar dan Heimeriks (hlm. 2) mendefinisikan bidang penelitian disipliner (disciplinary research) sebagai kelompok peneliti yang bekerja pada serangkaian pertanyaan penelitian tertentu, dengan menggunakan set metode yang sama dan pendekatan bersama (misalnya, Kuhn 1962; Harga 1965; Chubin 1983). Penelitian disipliner merupakan sebuahh upaya “pemecahan masalah yang normal” dalam “paradigma” tertentu, dan dengan itu dapat ditentukan batas-batas bidang disiplin. Sementara penelitian non-disiplin (non-disciplinary research) dapat dilihat sebagai cara menggabungkan elemen-elemen dari berbagai disiplin ilmu, sebagai interaksi antara dua atau lebih spesialisasi disiplin ilmu yang berbeda, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis dan untuk memecahkan masalah praktis. Interaksi tersebut dapat hanya berupa adanya komunikasi dan perbandingan ide, dan pertukaran data, metode dan prosedur, sampai dengan adanya saling integrasi dalam mengorganisir konsep, teori, metodologi, dan prinsip-prinsip epistemologis. Mengutip Klein (1990 dan 1995), bentuk-bentuk pengetahuan non-disipliner (non-disciplinary knowledge) dinilai memiliki kesamaan, yakni umumnya dipandang berbeda dengan apa yang sebelumnya dianggap sebagai “normal” - yaitu “disiplin” pengetahuan tertentu, dan klasifikasi yang berlaku penelitian dalam disiplin ilmu, sub-disiplin, dan bidang penelitian yang umumnya sering diambil atau digunakan begitu saja (taken for granted).

Menurut van den Besselaar & Heimeriks (hlm. 2), karakteristik utama dari penelitian non-disipliner adalah ia berorientasi  pada penelitian yang aplikatif. Seperti pada masalah perubahan sosial, bidang non-disipliner diharapkan akan terus ditingkatkan. Namun, bidang disipliner juga menunjukkan perkembangan dan perubahan yang cukup besar. Anomali dapat muncul dalam proses “normal” pemecahan masalah, dan sekali ada anomali yang diterima, maka disiplin “normal” dapat mengalami krisis, karena dituntutn untuk juga berubah, yang setidaknya dalam bentuk mengkamodasi anomali tadi. Akhirnya ada kemungkinan terjadi perubahan radikal, di mana bidang-bidang kajian digabungkan (merger) atau bahkan hilang (break-up). Terjadi sebuah proses rekonstruksi atas bidang-bidang penelitian, di mana seringkali proses tersebut mengkombinasikan unsur-unsur dari berbagai disiplin ilmu, yang menghasilkan munculnya paradigma baru.

Produksi Pengetahuan Bersifat Non-Disipliner

Berangkat dari kritik terhadap produksi pengetahuan monodisciplinary (monodisipliner atau disiplin tunggal) dan kebutuhan akan produksi pengetahuan non-disciplinary tadi, melahirkan beberapa konsep “baru” mengenai produksi pengetahuan,[ix] diantaranya cross-disciplinary, multidisciplinary, interdisciplinary,[x] transdisciplinary, dan lainnya.[xi] Pada faktanya tidak ada definisi yang seragam mengenai konsep-konsep tersebut. Saya mencoba menggambarkan perkembangan gagasan mengenai konsep-konsep tersebut dari pendapat beberapa ahli, sebagai berikut:

(1)   Cross-disciplinary, Cross-disciplinarity atau Cross-disipliner[xii]
  • Pendekatan cross-disciplinary melibatkan interaksi yang nyata di seluruh disiplin ilmu, meskipun tingkat dan sifat interaksinya sangat bervariasi (Miller, 1982:6);
  • Menurut Grigg, Johnston dan Milsom (2003:7) yang mengutip  Salter & Hearn (1996), ada tiga jenis cross-disciplinarity, yaitu: (a) Berdasarkan pandangan instrumental dari pengetahuan, yang hanya berkaitan dengan transfer alat dan metode kepada disiplin ilmu lain dalam menanggapi masalah tertentu. Di sini tidak ada sintesis langsung dari hasil pengetahuan. Contoh yang paling jelas saat ini adalah meluasnya penggunaan kemampuan berbasis perangkat lunak dalam penelitian; (b) Melihat cross-disciplinarity sebagai aspek konseptual, yang mengarah pada sintesis pengetahuan baru, namun berbasiskan secara kuat pada dasar-dasar disiplin ilmu dan dengan tujuan memperluas, daripada menantang disiplin ilmu tersebut. Hal ini dapat diberi label “cara pandang disiplinary terhadap cross-disciplinarity;” (c) Jenis cross-disciplinarity yang terang-terangan menantang disciplinarity melalui transdisciplinarity (mencari sebuah teori terpadu mengenai pengetahuan) dan critical interdisciplinarity (yang mencari pengetahuan kritis dan transformatif dan bukan bukan unifikasi). Dalam pandangan ini, manfaat cross-disciplinarity adalah ia mematahkan tradisi, mendobrak ortodoksi, dan membuka subyek-subyek baru untuk di eksplorasi;
  • Cross-disciplinarity didefinisikan sebagai lawan dari disciplinarity. Hal ini berkaitan dengan melintasi batas-batas disiplin, membuat batasan baru, dan berurusan dengan masalah “dunia nyata”. Hal tersebut didasarkan pada sikap bahwa dunia dan segala permasalahannya itu tidak dapat didefinisikan secara historis dalam struktur disiplin ilmu, namun bersifat dinamis, fleksibel, dan menggulingkan asumsi dan pola pikir masa lalu (Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:7);
  • Cross-disciplinarity dimaknai sebagai meminjam pengetahuan dan metode dari disiplin lain. Merupakan bentuk yang paling umum dan paling mudah dari model interdisciplinarity (Catatan: Krishnan berpendapat bahwa interdisciplinarity dalam maknanya yang luas adalah payung bagi sifat penelitian lainnya) di mana tidak benar-benar memerlukan kolaborasi dari peneliti dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, atau bahkan tidak memerlukan upaya penelitian kolaboratif. Ide dasarnya adalah dengan melihat apa yang disiplin lain telah analisis tentang fenomena tertentu atau objek dalam lingkup disiplin sendiri, atau alternatif untuk menerapkan konsep dan metode disiplin mereka sendiri untuk fenomena atau objek disiplin ilmu lainnya. Seorang akademisi dapat menerapkan metode disiplin mereka sendiri untuk masalah yang jelas di luar lingkup tradisional disiplin mereka sendiri. Sebagai contoh, antropolog dapat menggunakan metode etnografi untuk memahami proses penelitian ilmiah dan penemuan (Krishnan, 2009:3).

(2)   Multidisciplinary, Multidisciplinarity atau Multidisipliner
·         Aktivitas multidisipliner melibatkan upaya menyandingkan beberapa disiplin ilmu, tapi hanya dengan sedikit kontak saja diantara disiplin ilmu yang berpartisipasi tersebut (Miller, 1982:6). 
·         Multidisciplinarity adalah proses untuk menyediakan penjajaran disiplin ilmu yang hanya bersifat aditif (menambahkan) dan tidak integratif, di mana perspektif dari masing-masing disiplin tidak diubah, namun hanya dikontraskan atau dibandingkan saja (Klein, 1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006);[xiii]
·         Penelitian multidisipliner menyatukan campuran disiplin ilmu untuk memecahkan masalah tertentu yang ada dalam kompetensi mereka. Strukturnya diputuskan oleh tim manajemen. Peneliti berbicara dengan otoritas spesialisasi mereka masing-masing, dan pemimpin proyek harus mengelola pendapat atau analisis yang tidak kompatibel. Integritas dan prestise masing-masing disiplin masih menjadi prioritas utama, melampaui kepentingan terhadap kerjasama dalam gabungan proyek tersebut (Kilburn, 1990, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8);
·         Multidisciplinarity melibatkan masukan paralel dari berbagai disiplin ilmu tanpa memerlukan konsultasi diantara mereka (Kapila dan Moher, 1995);[xiv]
·         Penelitian multidisiplinarity melibatkan orang dari berbagai bidang bekerja sama, bekerja bersama menuju tujuan bersama namun tetap dalam batas-batas bidan;g mereka sendiri. Mereka mungkin mencapai titik di mana --karena pembatasan dan keterbatasan disiplin ilmu mereka-- mereka tidak dapat membuat kemajuan lebih lanjut. Mereka kemudian mungkin terpaksa bekerja di area batas disiplin dan mencoba membuka area kajian yang baru. Pada titik ini penelitian menjadi interdisipliner (Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9, yang mengutip definisi dari OECD, 1998:4, yang mengambil penjelasan dari Royal Society, 1996);
·         Dalam penelitian multidisipliner (multidisciplinary research), subjek yang diteliti didekati dari sudut yang berbeda, dengan menggunakan perspektif disiplin ilmu yang berbeda. Namun, baik perspektif teoritis maupun temuan dari berbagai disiplin ilmu tadi kemudian diintegrasikan pada analisis dan kesimpulan penelitian (van den Besselaar dan Heimeriks, 2001:2);
·         Multidisciplinarity adalah proses dengan pertukaran pengetahuan secara terbatas. Agar sebuah proyek multidisipliner dapat berjalan efektif, biasanya membutuhkan adanya manajer atau pimpinan tim yang dapat memahami dan memiliki otoritas dan rasa hormat dari seluruh disiplin ilmu yang terlibat (Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:9);
·         Multidisciplinarity, dimaknai sebagai bentuk kolaborasi interdisipliner tanpa sintesis atau kolaborasi dengan integrasi hirarkis pengetahuan. Dipandang merupakan salah satu bentuk strategi dari penelitian interdisipliner yang tidak memerlukan kolaborasi peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian multidisipliner ini tim peneliti bekerja bekerja untuk tujuan bersama atau masalah yang sama, tetapi masing-masing disiplin dapat bekerja secara independen atau secara berurutan. Kontribusi dari tiap disiplin yang terlibat melengkapi produk akhir dari studi, yang hanya dapat berupa kompilasi dari hasil penelitian tiap disiplin pada tema atau objek bersama. Atau, kolaborasi ini juga dapat menghasilkan produk penelitian terpadu yang mensintesis perspektif dari tiap disiplin yang terlibat menjadi sebuah gambar yang koheren. Kalaupun tidak, sintesis dapat dilakukan sebagai langkah akhir oleh peneliti utama, meskipun mungkin tanpa ada pertukaran antara disiplin ilmu yang terlibat. Penelitian disiplin khusus dapat dilakukan oleh para peneliti tambahan yang ahli dalam menggunakan metode penelitian tertentu yang telah diputuskan terlebih dahulu oleh peneliti utama (Krishnan, 2009:4).

(3)   Interdisciplinary, Interdisciplinarity atau Interdisipliner
  • Interdisciplinarity adalah suatu proses untuk mencapai sebuah sintesis integratif, sebuah proses yang biasanya dimulai dengan, pertanyaan masalah, atau topik masalah. Individu harus bekerja untuk mengatasi masalah yang diciptakan oleh perbedaan bahasa dan pandangan dunia dari disiplin yang berbeda (Klein, 1990:188, yang dikutip Bruusgaard, 2010);[xv]
  • Dalam interdisciplinarity ada suatu proses sintesis dari dua atau lebih disiplin, yang membangun wacana dan integrasi pengetahuan baru, dan pada akhirnya dapat berujung pada terciptanya disiplin ilmu baru (Klein, 1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:355);
  • Interdisciplinarity dapat menjadi cara untuk memperoleh perspektif yang lebih terintegrasi mengenai suatu kompleksitas (Kapila dan Moher, 1995:1; merujuk pada pandangan sejumlah pemikir sebelumnya seperti Broido 1977, Gusdorf 1977, Klein 1990 dan 1993); Interdisciplinarity menyiratkan adanya interaksi antara berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan masalah penelitian, di mana dalam proses penelitian tersebut dimulai dengan adanya definisi masalah bersama (Kapila dan Moher, 1995:2);
  • Interdisciplinarity adalah interaksi antara dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda. Sebuah kelompok interdisipliner terdiri dari orang-orang terlatih dalam berbagai bidang pengetahuan atau disiplin ilmu, dengan konsep, metode, data dan istilah yang berbeda, di mana mereka bergabung dalam sebuah upaya untuk menjawab masalah bersama dengan interaksi yang berkelanjutan di antara para peserta dari berbagai disiplin ilmu (OECD, 1998:4, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9);
  • Penelitian interdisipliner menunjukkan kerja sama para ilmuwan dengan orientasi melakukan integrasi dari setidaknya dua disiplin ilmu dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan bersama dan mencapai hasil bersama (Defila dan Di Giulio, 1999:13; dikutip Pohl et.al., 2010);[xvi]
  • Sebuah pendekatan interdisipliner menciptakan identitas teoritis, konseptual dan metodologisnya sendiri (baru). Dengan demikian, hasil dari studi interdisipliner mengenai masalah tertentu dapat menjadi lebih koheren dan terintegrasi (van den Besselaar & Heimeriks, 2001:2);
  • Interdisciplinarity adalah proses di mana peneliti bekerja bersama-sama, dengan menggabungkan perspektif dari setiap masing-masing disiplin, untuk mengatasi masalah bersama (Stokols et. al., 2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3);
  • Penelitian interdisipliner adalah mode penelitian oleh tim dari individu-individu yang mengintegrasikan informasi, data, teknik, peralatan, perspektif, konsep, dan/atau teori dari dua atau lebih disiplin atau badan pengetahuan khusus, untuk meningkatkan pemahaman fundamental, atau untuk memecahkan masalah yang pemecahannya berada di luar lingkup disiplin tunggal atau area praktek penelitian (National Academy of Sciences, 2005);[xvii]
  • Interdisipliner mengacu pada integrasi atau sintesis dari dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda, pengetahuan (body of knowledge), atau cara berpikir untuk menghasilkan makna, penjelasan, atau produk yang lebih luas dan kuat daripada hanya bagian atau disiplin ilmu yang terlibat (Rhoten dan Pfirman, 2007, yang dikutip van Rijnsoever dan Hessels, 2011:464);[xviii]
·         Studi interdisipliner adalah proses menjawab pertanyaan, memecahkan masalah, atau menangani topik yang terlalu luas atau kompleks untuk dapat ditangani secara memadai oleh disiplin tunggal dan mengacu pada perspektif disiplin, dan mengintegrasikan wawasan mereka untuk menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif atau kemajuan kognitif (Repko, 2008);[xix]
  • Interdisciplinarity atau Supradisciplinarity dimaknai sebagai upaya berbagi konsep, teori dan metode. Dalam penelitian interdisciplinary atau supradisciplinary, disiplin yang terlibat saling berkolaborasi dalam mengembangan perspektif bersama. Ide berbagi konsep-konsep umum, teori dan metode dengan disiplin terkait lainnya tentu sudah lama dikenal. Sejak masa awal ilmu pengetahuan modern, telah ada disiplin lintas paradigma (discipline-trangressing paradigms) yang dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu. Sebuah paradigma interdisipliner paling awal adalah Marxisme, yang telah mendorong pengembangan sekolah pemikiran Marxis dalam berbagai macam disiplin ilmu dan bidang studi, termasuk filsafat, ekonomi, ilmu politik, sosiologi, sastra dan seni, dan lingkungan dan studi pembangunan. Sebuah usaha supradisciplinary lebih baru adalah proyek Ludwig von Bertallanffy untuk menciptakan sebuah teori sistem umum (general systems theory), di era 1950-an. Proyek supradisciplinary lainnya adalah strukturalisme, dekonstruksi, pascastrukturalisme, feminisme dan, teori kompleksitas (Krishnan, 2009:7).
·         Istilah interdisipliner digunakan sebagai referensi yang mencakup seluruh penelitian lintas disiplin ilmu. Namun interdisipliner juga bisa merujuk ke penelitian dalam apa yang mungkin tampak luar menjadi disiplin tunggal (Bolitho dan McDonnell, 2010:5);

(4)   Transdisciplinary, Transdisciplinarity atau Transdisipliner
  • Pendekatan transdisipliner menampilkan model pemikiran menyeluruh yang bertujuan untuk menggantikan pandangan dunia yang ada pada masing-masing disiplin (Miller, 1982:6);
  • Transdisciplinarity menyediakan skema holistik di mana disiplin subordinat (lebih rendah) melihat dinamika seluruh sistem yang ada (Klein, 1990, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:355);
  • Transdisciplinarity melibatkan membentuk kembali dari dasar praktek kognitif dan sosial yang tepat, dengan cara yang melibatkan konteks aplikasi dalam membentuk upaya penelitian dari awal, dan dengan cara yang dinamis melanjutkan. Selain kontribusi yang dihasilkan untuk pengetahuan mungkin tidak dalam bentuk disiplin, dan dapat ditransfer langsung ke stakeholder (Gibbons et. al., 1994, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:9);
  • Transdisciplinarity merujuk pada apa yang sekaligus berada diantara disiplin ilmu, di seluruh disiplin ilmu yang berbeda, dan di luar semua disiplin ilmu (OECD, 1998:4, yang dikutip Grigg, Johnston dan Milsom, 2003:8-9);
  • Transdisciplinarity pada awalnya didefinisikan sebagai perspektif meta-teoritis interdisipliner, seperti strukturalisme dan Marxisme (Klein, 1990). Belakangan, Gibbons et.al. (1994) menggunakan konsep transdisciplinarity dengan cara yang berbeda. Dalam pandangan mereka, pendekatan interdisipliner ditandai dengan formulasi eksplisit yang seragam, disiplin yang melampaui terminologi atau metodologi umum. Pendekatan transdisciplinary berjalan satu langkah lebih jauh, karena didasarkan pada pemahaman teoritis umum, dan harus disertai dengan saling interpenetrasi dari epistemologi disiplin. Dalam pandangan ini, bidang transdisciplinary memiliki teori yang terhomogenisasi (homogenized) (van den Besselaar dan Heimeriks, 2001:2);
  • Penelitian transdisciplinary menunjukkan kerjasama lintas disiplin, yang melibatkan tidak hanya para ilmuwan tetapi juga praktisi dari luar bidang ilmu (misalnya, pengguna) dalam pekerjaan penelitian (Defila dan Di Giulio, 1999:13, yang dikutip Pohl et.al., 2010:4);
  • Transdisciplinarity adalah suatu proses di mana peneliti bekerja bersama-sama untuk mengembangkan dan menggunakan kerangka konseptual bersama yang menjalin teori, konsep, dan metode dari beberapa disiplin-spesifik untuk mengatasi masalah bersama (Stokols et.al., 2003:24, yang dikutip Pohl et.al., 2010:3);
  •  “Trans-“ berarti "di, atau pada sisi jauh, di luar, lebih." Untuk dapat melampaui batas-batas disiplin, melalui proses merakit disiplin ilmu dan informasi bergabung kembali. Penjajaran (juxtaposition) adalah titik awal untuk integrasi. Penjajaran dan rekontekstualisasi menarik pikiran untuk teka-teki tentang koneksi potensial antara elemen informasi. Langkah selanjutnya adalah rekombinasi informasi, yaitu "proses mengambil kode komposisi yang ada, memecah dan membawa mereka kembali ke elemen-elemen penyusunnya, dan mengkombinasikan unsur-unsur untuk membentuk komposisi yang baru", atau pengetahuan baru (Kerne, 2006, yang dikutip Choi dan Pak, 2006:357);
  • Menurut Bolitho dan McDonnell (2010:6) yang mengutip Davies dan Devlin (2007), transdisciplinarity mungkin dapat dipandang memiliki nilai tertentu dalam mengembangkan strategi penelitian masa depan, berdasarkan cara memposisikan penelitian dalam kaitannya dengan apa yang disebut Klein (2008) sebagai bersifat “trans-sektor, penelitian berorientasi masalah yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam masyarakat”.
  • Transdisipliner adalah bentuk baru dari belajar dan pemecahan masalah yang melibatkan kerjasama antara berbagai bagian masyarakat dan akademisi dalam rangka memenuhi tantangan yang kompleks masyarakat. Penelitian transdisciplinary mulai dari hal yang nyata, yaitu masalah di dunia nyata. Idealnya, setiap orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang masalah tertentu dan bersedia untuk berpartisipasi dapat berperan dalam proses tersebut. Melalui proses saling belajar, pengetahuan dari semua peserta ditingkatkan, sehingga pengetahuan yang diperoleh akan lebih besar dari pengetahuan dari setiap disiplin atau peserta tunggal. Dalam proses ini, bias dari perspektif masing-masing juga akan diminimalkan (Häberli et.al., 2001, yang dikutip Zierhofer dan Burger, 2007).[xx]
  • Transdisciplinarity, dimaknai sebagai bekerja sama dengan stakeholder penelitian dari non-perguruan tinggi. Sebuah strategi yang berbeda untuk melakukan penelitian interdisipliner adalah mencari kolaborator penelitian di luar konteks akademik/universitas. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk penelitian yang terutama berorientasi pada hasil yang bersifat aplikatif, misalnya perkembangan teknologi baru atau perumusan kebijakan. Jenis penelitian ini merupakan kecenderungan utama dan telah disebut “mode kedua produksi pengetahuan” oleh Michael Gibbons dkk., yang menganggapnya sebagai produksi pengetahuan transdisciplinary, yang dianggap berbeda dengan produksi pengetahuan dari satu disiplin tertentu saja. Fenomena riset kolaborasi antara universitas dengan industri dan organisasi non-perguruan tinggi lainnya semakin penting, terutama dalam konteks kontrak konsultasi dan pengembangan teknologi. Meskipun penelitian kolaborasi dengan stakeholder non-perguruan tinggi paling umum terjadi pada disiplin ilmu-ilmu alam, teknik dan ilmu komputer, namun terlihat juga adanya peluang pengembangannya pada akademisi dari ilmu-ilmu sosial untuk bekerjasama dengan pihak dari luar  universitas, seperti sektor swasta, LSM dan institusi sukarela dan, tentu saja, sektor publik atau pemerintah (Krishnan, 2009:5-6).

Untuk membantu dalam memahami konsep-konsep tersebut, Saya mencoba menggambarkan dalam beberapa ilustrasi berikut. Dalam menunjukkan beberapa perbedaan yang relevan diantara sifat penelitian multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner, Bolitho dan McDonnell (2010:5) mengacu pada diagram yang dikembangkan oleh Lyall (2009). Mereka berpendapat bahwa setidaknya ada tiga jenis relasi antar disiplin, yaitu: (a) Posisi pertama, yaitu multidisciplinarity, menunjukkan adanya beberapa tim disiplin bekerja secara bersamaan atau secara berurutan, tanpa adanya upaya untuk mengintegrasikan ketiga disiplin tersebut; (b) Posisi kedua, yaitu interdisciplinarity, menunjukkan adanya interaksi yang lebih besar dan adanya potensi integrasi dari berbagai disiplin yang terlibat, di mana disiplin-disiplin tersebut saling bekerjasama dan menciptakan wacana bersama tentang masalah penelitian tertentu; (c) Posisi ketiga, yaitu transdisciplinary, yang menyoroti fokus masalah atau isu-isu eksternal, yang kemungkinan akan mencerminkan campuran disiplin ilmu yang terkait dengan masing-masing masalah.

Dari uraian di atas terlibat beragamnya pengertian multidisciplinary, cross-disciplinary, interdisciplinary, dan transdisciplinary yang digunakan oleh para ahli. Beberapa istilah bahkan terlihat saling bersilangan ketika menjelaskan satu pengertian yang kurang lebih serupa. Menurut Siems (2009:6), hal tersebut terjadi diantaranya karena ketidakjelasan batasan mengenai kriteria dan tingkat sintesis dari disiplin ilmu yang terlibat. Sebagai contoh “ekstrim,” Klein (1990) mendefinisikan transdisciplinary sebagai berkaitan dengan perspektif meta-teoritis seperti strukturalisme dan Marxisme, sementara Defila dan Di Giulio (1999), Tress et.al. (2006) dan Krishnan (2009) lebih melihatnya sebagai integrasi antara partisipan dari disiplin akademik dan non-akademik (stakeholder lain, misalnya institusi pengguna hasil penelitian atau kelompok masyarakat). Sebaliknya, Krishnan (2009) justru memaknai Marxisme (yang digunakan untuk pisau analisis) sebagai bentuk dari interdisciplinary. Karena itu Saya mencoba membuat batasan sendiri mengenai sifat-sifat penelitian tersebut, yang meskipun pasti memiliki banyak kelemahan namun diharapkan membantu dalam menjelaskan mengenai penelitian interdisipliner tentang hukum yang menjadi topik tulisan ini.

  • Cross-disciplinary: Lintas disiplin, berupa modus “meminjam” teori,  metode atau pendekatan dari disiplin ilmu lain.
  • Multidisciplinary: Dua atau lebih disiplin ilmu bersama-sama meneliti suatu topik atau isu tertentu, namun menggunakan metode dan menganalisis berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing. Hasil akhir kemudian dihubungkan dan dibandingkan untuk saling memperkuat atau menyanggah hasil analisis masing-masing.
  • Interdisciplinary: Dua atau lebih disiplin digunakan untuk meneliti suatu topik atau isu tertentu, di mana terjadi komunikasi, kolaborasi dan integrasi mulai dari definisi, tujuan, proses, pengumpulan data sampai analisis dan penarikan kesimpulan.
  • Transdisciplinary: Lintas disiplin dan lintas aktor/stakeholder, yang bertujuan yang mencari pengetahuan kritis dan transformatif atas isu atau masalah mendasar bagi bagi kehidupan manusia.

Dengan berkembangnya studi atau penelitian ekstra-disipliner khususnya yang bersifat interdisipliner, tentunya menjadi pertanyaan mengenai posisi studi monodisipliner. Menurut Kapila dan Moher (1995:1), meskipun saat ini berkembang studi yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner, namun tidak berarti bahwa penelitian monodisciplinary tidak lagi diinginkan atau tidak berguna sama sekali. Karena pada dasarnya, penelitian interdisipliner atau multidisipliner yang baik sesungguhnya justru didasarkan pada keunggulan dari masing-masing disiplin. Selain itu penelitian monodisciplinary dipandang penting di mana penyelesaian masalah membutuhkan keahlian keterampilan disiplin tunggal. Tapi ketika masalah penelitian memerlukan input dari berbagai disiplin ilmu, yang dibutuhkan dan kerap digunakan adalah pendekatan metodologis yang bersifat  multidisipliner atau interdisipliner. Dalam pandangan Lyall et.al. (2011),[xxi] pendekatan penelitian disipliner dan interdisipliner keduanya penting untuk menghasilkan pengetahuan dan memecahkan masalah. Namun banyak literatur yang ada lebih berfokus pada diskusi tentang manfaat relatif dari masing-masing bentuk-bentuk penelitian dan masih ada kelangkaan panduan megenai interdisciplinarity sebagai cara untuk melakukan penelitian. Dalam hal ini Lyall et.al. melihat disciplinary dan interdisciplinarity sebagai saling melengkapi. Penelitian berbasis disiplin menyediakan seperangkat penting standar atau cara terkait dengan framing, penggunaan teori kunci dan metode, namun model kajian dan analisis interdisipliner lebih mampu menjawab persoalan yang kompleks.




Endnote:
[i] Dikemas ulang dari BAB II buku Pengantar Penelitian Interdisipliner tentang Hukum, Epistema Institute, 2013.
[ii] Istilah yang saya gunakan untuk menyebut studi yang melibatkan lebih dari satu disiplin.
[iii] Lihat Thaddeus R. Miller et.al., “Epistemological Pluralism: Reorganizing Interdisciplinary Research,” Ecology and Society 13(2): 46, 2008.
[iv] Lyn Grigg, Ron Johnston dan Nicky Milsom, Emerging Issues for Cross-Disciplinary Research: Conceptual and Empirical Dimensions (Commonwealth of Australia: Department of Education, Science and Training, 2003), hlm. 6.
[v] Dalam bahasa Inggris, disciplinary merupakan kata sifat, sementata disciplinarity merupakan kata benda.
[vi] Lihat Peter Van den Besselaar dan Gaston Heimeriks. “Disciplinary, Multidisciplinary, Interdisciplinary - Concepts and Indicators –,“ makalah dalam The 8th Conference on Scientometrics and Informetrics – ISSI2001, Sydney, Australia, July 16-20, 2001, hlm. 1.
[vii] Alan F. Blackwell et.al. dalam “Radical Innovation: Crossing Knowledge Boundaries with Interdisciplinary Teams,” University of Cambridge, Technical Report UCAM-CL-TR-760, November 2009, hlm. 15, menawarkan pendekatan yang lebih luas terkait dengan produksi pengetahuan disipliner. Menurut mereka, pengetahuan dibangun dalam komunitas atau organisasi yang “dibatasi” (bounded) dalam beberapa cara. Dalam hal ini, melintasi batas (crossing of boundaries) antara komunitas dan organisasi tersebut dipandang sebagai inti dari definisi mengenai karakteristik inisiatif interdisipliner. Mereka membedakan jenis-jenis batasan yang memisahkan antar institusi, antar departemen pemerintah, antar perusahaan, departemen dalam perusahaan, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara kantor cabang dan kantor pusat, antara unit riset dan pengembangan (R & D) dan manufaktur. Juga dibedakan adanya batasan-batasan antara bentuk pengetahuan akademis dan professional –antara hukum, kesehatan, ilmu teknik, sejarah, biologi, matematika, dan lainnya. Selain itu mereka juga mempertimbangkan adanya perbedaan dari jenis-jenis organisasi: perusahaan dan universitas, atau kelompok sukarela (voluntary groups) dan kelompok professional. Kesemuanya itu dipandang sebagai jenis-jenis pengetahuan “disipliner.”
[viii] Saya berpandangan bahwa penggunaan istilah interdisipliner di sini perlu disikapi dengan hati-hati, mengingat ada beberapa  pemaknaan yang berbeda, antara lain: (a) Penggunaan istilah interdisipliner (interdisciplinary) kerap dipersamakan dengan istilah atau sifat penelitian yang lain yang sesungguhnya memiliki makna berbeda, seperti cross-disciplinary, multidisciplinary, atau transdisciplinary; (b) Interdisipliner kerap dimaknai dalam arti luas yaitu sebagai istilah “payung” untuk beberapa modus produksi pengetahuan, mulai dari yang bersifat meminjam metode atau teori dari disiplin lain (cross-disciplinary), sampai dengan yang bersifat transformatif (transdisciplinary); (c) Interdisipliner juga dapat dimaknai dalam arti sempit, yaitu upaya kolaborasi dan integrasi beberapa disiplin ilmu. Jika istilah interdisipliner terkait teori hukum tersebut digunakan untuk menyebut modus meminjam metode atau teori dari disiplin lain, Saya cenderung berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat digunakan dalam konteks teori hukum tersebut adalah cross-disciplinary.
[ix] Sebagai catatan, para ahli menggunakan cara penulisan yang berbeda-beda mengenai jenis atau sifat penelitian tersebut. Ada yang menuliskannya secara terpisah, dan ada yang menulis secara bersambung. Untuk keseragaman, Saya menggunakan cara penulisan sebagai berikut: cross-disciplinary, multidisciplinary, interdisciplinary, dan transdisciplinary.
[x] Raymond C. Miller dalam “Varieties of Interdisciplinary Approaches in the Social Sciences: A 1981 Overview,” Issues in Integrative Studies, 1982, No. 1, hlm. 6, berpendapat bahwa konsep interdisciplinary merujuk pada istilah generik yang mencakup seluruh studi lintas konsep dan mencakup semua kegiatan yang mendekatkan, menerapkan, menggabungkan, mensintesis, mengintegrasikan atau melampaui batas-batas dari dua atau lebih disiplin ilmu. Sementara Peter van den Besselaar dan Gaston Heimeriks dalam “Disciplinary, Multidisciplinary, Interdisciplinary - Concepts and Indicators –,“ makalah dalam the 8th conference on Scientometrics and Informetrics – ISSI2001, Sydney. Australia, July 16-20, 2001,  menyebut modus extra-disciplinary sebagai interdisciplinary, yang didalamnya termasuk multidisciplinarity, crossdisciplinarity, pluridisciplinarity, interdisciplinarity, dan transdisciplinarity. Jadi dapat dikatakan ada pemaknaan interdisciplinary dalam arti luas dan sempit. Armin Krishnan, “Five Strategies for Practicing Interdisciplinary”, dalam ESRC National Centre for Research Methods (NCRM), Working Paper Series 02/09, March 2009, juga menggunakan istilah interdisipliner sebagai payung bagi semua bentuk fusi dari beberapa disiplin, baik yang bersifat cross-, multi-, maupun transdisciplinarity. Sementara menurut Annie Bolitho dan Mark McDonnell dalam Interdisciplinarity in Research at The University of Melbourne (University of Melbourne: Melbourne Sustainable Society Institute, 2010), hlm. 5, mengutip pendapat  Davies dan Devlin (2007) yang menyatakan bahwa istilah interdisciplinary, multidisciplinary, cross-disciplinary, dan transdisciplinary sering digunakan secara tidak tepat. Terminologi tersebut sering digunakan tanpa referensi eksplisit mengenai modus penelitian yang bersangkutan. Pendapat yang lain justru menyebutkan cross-disciplinarity sebagai “payung” dari sifat penelitian interdisciplinarity, multidisciplinarity dan transdisciplinarity (Salter dan Hearn, 1996; Grigg, Johnston dan Milsom, 2003).
[xi] Kategori lain misalnya seperti yang dibuat oleh Krishnan (2009:6-9). Dia menambahkan satu kategori yaitu Superdisciplinary, atau yang juga disebutnya sebagai megadisciplinaritySuperdisciplinary tidak hanya mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial menjadi beberapa disiplin ilmu pengetahuan sosial terpadu, tetapi juga dapat menjembatani kesenjangan tradisional antara ilmu alam dan sosial. Sebagai contoh, mungkin teori sosial global, yang dapat menyatukan semua ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Superdiscipliner melampaui pendekatan interdisipliner, karena mereka berniat untuk menggabungkan beberapa disiplin ilmu. Sebagai perbandingan, supradisciplinarity (berbagi konsep, teori dan metode) masih menghormati batas-batas disiplin dan membiarkan disiplin tetap ada. Pada saat yang sama, superdiscipliner akan tetap dalam kerangka disciplinarity, meskipun mereka akan berarti penataan ulang dari disiplin ilmu utama yang ada. Sedangkan tujuan akhir, atau kecenderungan, bisa penyatuan akhirnya semua pengetahuan dan semua disiplin ilmu dalam arti “teori segala” (theory of everything), yang  masih diupayakan oleh ilmu fisika. Upaya menyatukan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk melawan implikasi negatif dari fragmentasi pengetahuan dan dianggap suatu bentuk demokratisasi pengetahuan dengan membuatnya lebih mudah diakses untuk semua orang, termasuk non-ilmuwan.
[xii] Saya menerjemahkan istilah “cross-disciplinary” sebagai “cross-disipliner” karena sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk istilah tersebut. Jika diterjemahkan sebagai “lintas disipliner” dikhawatirkan akan membingungkan karena istilah tersebut juga biasa digunakan pada jenis penelitian lainnya yang pada dasarnya digunakan untuk menjelaskan jenis kajian yang tidak membatasi diri pada satu disiplin saja.
[xiii] Bernard C.K. Choi dan Anita W.P. Pak, “Multidisciplinarity, Interdisciplinarity and Transdisciplinarity in Health Research, Services, Education and Policy: 1. Definitions, Objectives, and Evidence of Effectiveness,” dalam Clin Invest Med, 29 (6), 2006, hlm. 355.
[xiv] Sunita Kapila dan Robert Moher, Across disciplines: Principles for Interdisciplinary Research (Ontario: International Development Research Center, 1995), hlm. 2.
[xv] Lihat Emily Bruusgaard et.al., “’Are We All on the Same Page?’: The Challenges and Charms of Collaboration on a Journey Through Interdisciplinarity,” dalam “Interdisciplinarity: Methodological Approaches,” Graduate Journal of Social Science, Vol. 7, Issue 1, June 2010, hlm. 42.
[xvi] Lihat Christian Pohl et.al., “Questions to evaluate inter- and transdisciplinary research proposals”, dalam Swiss Academies of Arts and Sciencies: td-net for Transdisciplinary Research, Working Paper, Berne, December 23th 2010, hlm. 4.
[xvii] Lihat National Academy of Sciences, Facilitating Interdisciplinary Research (Washington: National Academies Press, 2005), hlm. 188.
[xviii] Frank J. van Rijnsoevera, & Laurens K. Hessels. “Factors Associated with Disciplinary and Interdisciplinary Research Collaboration.” Research Policy, Vol. 40, 2011, hlm. 464.
[xix] Lihat Allen F. Repko, Interdisciplinary Research: Process and Theory (London: SAGE Publications, 2008), hlm. 12.
[xx] Lihat pada Wolfgang Zierhofer dan Paul Burger, “Disentangling Transdisciplinarity: An Analysis of Knowledge Integration in Problem-Oriented Research,” dalam Science Studies, Vol. 20, No. 1, 2007, hlm. 51.
[xxi] Chaterine Lyall, et.al., Interdisciplinary Research Journeys: Practical Strategies for Capturing Creativity (London: Bloomsbury Publishing, 2011), hlm. 2.

Tidak ada komentar: