Baca

Baca

Jumat, 27 Maret 2015

"Akhir Tahun ini Berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: ‘Siapkah atau Tepatkah?’"

Pada Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Ministers/AEM) ke-39 tahun 2007 telah disepakati mengenai naskah Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN beserta jadwal stategis yang mencakup inisiatif-inisiatif baru serta peta jalan yang jelas untuk mencapai pembentukan AEC tahun 2015. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN kemudian disahkan pada Rangkaian Pertemuan KTT ke-13 ASEAN. Cetak Biru ini bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN lebih stabil, sejahtera dan sangat kompetitif, memungkinkan bebasnya lalu lintas barang, jasa, investasi dan aliran modal. Selain itu, juga akan diupayakan kesetaraan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi pada tahun 2015. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan rancang utama (masterplan) untuk membentuk Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan mengidentifikasi langkah-langkah integrasi ekonomi yang akan ditempuh melalui implementasi berbagai komitmen yang rinci dengan sasaran dan jangka waktu yang jelas.

Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan bahwa arti penting dan peluang komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC) dapat dilihat dari empat pilar-nya, yaitu: (a) Pasar Tunggal dan Basis Produksi, bertujuan menghapus atau mengurangi hambatan di bidang perdagangan barang, jasa, investasi dan modal di seluruh 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN; (b) Memajukan Kawasan Ekonomi Berdaya Saing Tinggi melalui berbagai kesepakatan dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Peraturan Kebijakan Persaingan (Competition Law Policy) yang sehat dan adil, dan pembangunan infrastruktur; (c) Mencapai Pembangunan Ekonomi yang Merata (Equitable Economic Development) dengan mendorong pembangunan di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam (CLMV) melalui implementasi program di bawah Initiatives on ASEAN Integration (IAI), dan pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di seluruh Negara ASEAN; (d) Mendukung Integrasi ASEAN ke dalam Ekonomi Global. (lihat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN (2009), Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint), Departemen Luar Negeri RI; dan Iwan Suyudhie Amri (2013), Komunitas Ekonomi ASEAN 2015,” dalam Konsepsi MEA Pasca 2015 dan Industri Konstruksi, Kemeterian Pekerjaan Umum).

Tentu saja sesungguhnya ada banyak pro dan kontra mengenai kebijakan ini, baik di kalangan analis, akademisi, pengamat, aktivis, dan bahkan pejabat pemerintahan sendiri. Sebagai contoh, pada 23 Februari 2015 lalu, Harian KONTAN yang mengutip ANTARA menulis bahwa Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengkhawatirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 mendatang, di mana akan tercipta integrasi 10 negara Asia Tenggara dalam suatu kawasan ekonomi eksklusif pada akhir tahun 2015 ini. Menurutnya banyak sekali pihak yang belum mempunyai pemikiran sama, sehingga menurutnya Indonesia belum siap terlibat dalam MEA. Menurutnya Indonesia hanya akan dijadikan pasar karena kita belum mampu mengelola sumberdaya sumber daya dalam negeri secara baik. Kecuali dengan Filipina, transaksi perdagangan Indonesia dengan 9 negara ASEAN lainnya masih defisit (lihat “Mendag khawatir kesiapan Indonesia hadapi MEA,” , http://nasional.kontan.co.id/news/mendag-khawatir-kesiapan-indonesia-hadapi-mea).

Kekhawatiran Menteri Perdagangan tadi dapat dipahami, karena sesungguhnya ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA adalah bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja kerja terampil dan modal. Sementara hambatannya juga tidak sedikit, antara lain: (a) Mutu pendidikan masih rendah; (b) Ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa; (c) Sektor industri rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi; (d) Keterbatasan pasokan energy; (e) Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor (lihat “Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015,” http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015)

Belum lama ini saya berkesempatan membaca buku karya Doni Mantra berkaitan dengan isu MEA 2015 ini. Doni berada pada posisi menolak kebijakan tersebut. Berbekal pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet sebagai pisau analisis, Doni menganalisis proses hegemoni dalam diskursus tentang MEA ini. Ada beberapa kesimpulan yang menurut saya cukup menarik sebagai penyeimbang dari berbagai pandangan yang umumnya berkisar pada “siap atau tidaknya” Indonesia terlibat MEA. Doni mengingatkan tentang tetap perlunya ada diskursus “tepat atau tidaknya” paradigma ekonomi pasar bebas seperti yang terjadi saat ini.

Saya hanya menulis ulang bagian kesimpulan saja. Ada baiknya membeli dan membaca buku ini sendiri nanti selengkapnya ya…

-----


Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme:
Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Dalam buku ini, analisis Doni Mantra (Penulis buku ini) berangkat dari sebuah posisi analitis yang menilai bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang tidak siap untuk dapat bertahan dan mengantisipasi dampak negatif dari agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diwujudkan di tahun 2015.

Penulis buku ini menggambarkan kondisi riil ketidaksiapan ekonomi Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebagai suatu proses integrasi regional yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Menurutnya, sebagai bagian dari gelombang kedua regionalisme di dunia, proses integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN dijalankan berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip neoliberalisme di dalam ekonomi. Hal ini dapat diamati dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menekankan pada upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi aktivitas ekonomi.

Dari hasil telaah komparatif historis, Penulis buku ini mengungkapkan bahwa kesiapan ekonomi secara substansif dan riil merupakan suatu syarat yang mutlak bagi suatu negara untuk dapat mengantisipasi dampak negative dan bertahan dari implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi berbasis neoliberalisme. Sementara, menurutnya, neoliberalisme merupakan sebuah paradigma yang mengandung kecacatan melekat di dalamnya, sebuah paradigma yang benar-benar tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Penulis menyayangkan bahwa pada kenyataannya pemerintah Indonesia dengan semangat dan komitmen yang sangat besar telah mengikatkan diri kepada suatu agenda yang sangat neoliberal, yakni pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Dalam hal ini Penulis berada pada posisi tidak menginginkan dan menolak dengan tegas neoliberalisme dijadikan sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia.

Menurut Penulis buku ini, jika memang pemerintah telah memutuskan untuk bermain dalam arena neoliberal ini, seharusnya dalam tataran ideal komitmen dan semangat yang sangat besar harus diejawantahkan dalam langkah-langkah persiapan yang berarti dalam dimensi substantif dan riil. Dalam suatu kondisi ekonomi yang tidak siap, menyimak proses liberalisasi di negara-negara berkembang, implementasi beragam prinsip neoliberal yang selama ini diterapkan justru akan membawa keterpurukan ekonomi yang lebih mendalam. Dengan demikian, dalam menghadapi agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN, suatu upaya penyiapan ekonomi untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia jika tidak ingin menjadi pihak yang kalah dalam era kompetisi pasar bebas.

Akan tetapi, berdasarkan telaah empiris dan komparatif yang dilakukan Penulis buku ini, justru memperlihatkan suatu kondisi di mana langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008, tidak memiliki arti yang besar dalam meningkatkan kinerja dan daya saing riil perekonomian Indonesia. Penulis meyakini bahwa terbukti selama periode tersebut, dalam beberapa sektor yang sangat penting, seperti industri manufaktur, kualitas sumber daya manusia, ketrampilan dan
tingkat pendidikan tenaga kerja, pariwisata dan iklim investasi, Indonesia masih jauh tertinggal, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam. Bahkan dalam beberapa aspek tertentu, Penulis berpendapat bahwa Vietnam sebagai anggota baru dari ASEAN telah berada pada posisi yang lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.

Penulis berpendapat bahwa sebuah permasalahan besar muncul sebagai imbas dari tidak berartinya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tataran yang ideal, seharusnya komitmen pemerintah yang sangat kuat terhadap agenda integrasi ekonomi berbasis neoliberal ini diiringi dengan langkah-langkah yang bersifat substantif untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perekonomian Indonesia. Upaya untuk menjelaskan realitas yang kontradiktif dalam wujud tidak berartinya langkah pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian, kemudian persoalan utama yang dianalisis dalam buku ini.

Doni Matra menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian yang dikembangkan oleh Richard Peet dalam melakukan analisis dalam buku ini, dan mendapatkan beberapa temuan yang menurutnya dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan tersebut.

(   (1) Perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal di Indonesia telah berhasil menanamkan suatu visi ideologis neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia. Penulis berpendapat, bahwa bersama dengan berjalannya program pemulihan ekonomi IMF di Indonesia, komunitas ini menjalankan perjuangan hegemoni dengan menyebarkan gagasan-gagasan atau visi neoliberalisme melalui mekanisme yang bersifat konsensual. Keberadaan para anggota dari komunitas epistemis liberal Indonesia ini, yang memiliki status dan reputasi kepakaran atau keahlian di bidang ekonomi, menjadikan upaya penyebaran gagasan/visi neoliberal sebagai landasan dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia dapat dijalankan secara efektif. Menurutnya telah terjadi suatu kolaborasi apik antara gerakan penyebaran gagasan dalam ranah institusi sipil dan injeksi anggota komunitas epistemis liberal ke dalam tubuh pemerintahan. Hasilnya adalah terciptanya suatu keyakinan konsensual terhadap asumsi-asumsi neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Ketika neoliberalisme telah menjadi sebuah perspektif yang diyakini kebenarannya, akan tercipta suatu wujud keyakinan fundamental akan manfaat dari penerapan perspektif ini, khususnya di dalam agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada suatu titik ketika keyakinan fundamental telah tercipta, maka dalam kondisi apapun perekonomian Indonesia pasti atau niscaya manfaat atau keuntungan dari agenda integrasi regional berbasis neoliberal ini akan didapatkan. Posisi hegemoni neoliberal dalam formasi kebijakan ekonomi inilah yang kemudian mempengaruhi minimnya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 untuk mempersiapkan perekonomian dalam rangka menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

    (2) Telah terjadi praktik diskursif yang dijalankan oleh subyek-subyek yang memiliki modalitas enunsiatif untuk menjadikan neoliberalisme sebagai perspektif yang absah dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia.  Mnurut Penulis buku ini, praktik diskursif mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan dari para ahli atau subyek yang memiliki modalitas enunsiatif. Akan tetapi, praktik diskursif tidak bermakna sebagai pernyataan semata. Praktik diskursif merupakan pernyataan-pernyataan yang memiliki kekuatan konstitutif, dalam bahasa Foucault disebut sebagai “berbicara adalah berbuat.” Penulis memfokuskan penelusuran terhadap praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia pada pernyataan-pernyataan dari tiga subyek yang memiliki modalitas enunsiatif, yaitu Mari Elka Pangestu, Boediono dan Sri Mulyani, yang tersebar di beberapa media cetak dan elektronik selama periode 2004-2010. Menurutnya, praktik diskursif yang dijalankan oleh ketiga subyek tersebut mewujud ke dalam pernyataan-pernyataan yang memiliki makna optimisme, keyakinan akan manfaat positif bagi perekonomian Indonesia dan langkah-langkah kesiapan teknis yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktik diskursif yang lahir di dalam suatu formasi diskursif ekonomi yang didominasi oleh neoliberalisme ini, telah berhasil menjadikan perspektif tersebut berada dalam posisi yang absah yang menjadi panduan bagi elaborasi teoritis dan konseptual sebagai landasan pembuatan kebijakan ekonomi. Dengan demikian, melalui praktik diskursif neoliberal ini, wacana Masyarakat Ekonomi ASEAN dimaknai dalam demarkasi atau batasan-batasan neoliberal dalam suatu formasi diskursif ekonomi, yaitu dalam bentuk sikap, pemikiran dan ekspresi optimis, keyakinan akan manfaat dan komitmen dalam implementasi langkah-langkah persiapan teknis sesuai dengan cetak biru yang telah disepakati. Akibatnya, langkah-langkah persiapan ekonomi lebih ditekankan pada persoalan yang bersifat teknis, bukan langkah-langkah yang secara substantif dapat meningkatkan kinerja dan daya saing ekonomi nasional. Selain itu, Penulis menyimpulkan bahwa praktik diskursif neoliberalisme di Indonesia selama ini telah dijalankan secara sistematis dan institusional, yaitu melalui pernyataan-pernyataan resmi lembaga-lembaga pemerintah terkait dengan sikap optimisme, keyakinan akan manfaat dan langkah persiapan teknis menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.

(3) Kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif telah melahirkan pembatasan pemikiran dan ekspresi dalam tiga bentuk, yaitu praktikalitas, inevitabilitas dan optimalitas. Penulis menemukan, bahwa berdasarkan telaah terhadap praktik diskursif yang digulirkan oleh tiga subyek dengan modalitas enunsiatif tersebut, tercermin ketiga pembatasan pemikiran dan ekspresi yang lahir dari kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif. Penulis menangkap kecenderungan bahwa dalam konteks praktikalitas, terlihat suatu sikap keengganan untuk membicarakan persoalan siap atau tidak siapnya kondisi perekonomian Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain itu, pembatasan pemikiran dan ekspresi juga lebih ditekankan kepada persoalan membangun kepercayaan diri dalam proses menuju integrasi ekonomi ini, pembicaraan mengenai ketidaksiapan justru menjadi suatu hal yang ditakutkan. Bahkan Penulis melihat adanya kecenderungan adanya pandangan bahwa proses liberalisasi perdagangan ini sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Siap atau tidak siap, liberalisasi pasti akan terjadi sebagai sesuatu yang niscaya. Penulis melihat adanya replikasi dari pola yang sama dengan model reproduksi pembatasan ekspresi dan pemikiran di tahun 1980-an ketika neoliberalisme dikampanyekan di tingkat internasional melalui Konsensus Washington, dengan slogan yang sangat terkemuka, There is No Alternative (TINA).

(4) Kekaburan paradigma dan arah kebijakan pembangunan nasional yang mempengaruhi minimnya langkah persiapan pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Penulis berpendapat bahwa perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberal di Indonesia telah menyebabkan terjadinya distorsi terhadap landasan paradigma dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Menurutnya, meskipun secara konstitusional negara telah diberikan peranan yang besar dalam pembangunan di negeri ini, namun kampanye gagasan neoliberal telah berhasil mengikis peranan penting negara dan menegakkan supremasi mekanisme pasar bebas dalam pembangunan ekonomi. Akibatnya, paradigma yang menjadi landasan pembangunan di Indonesia menjadi kabur, dan telah menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsinya, yaitu fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan. Langkah-langkah substantif yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan daya saing perekonomian nasional menjadi sangat minim, dikarenakan kapasitas yang terus tergerus oleh implementasi neoliberalisme dalam wujud kesepakatan perdagangan bebas. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh lembaga-lembaga pemerintah menjadi parsial, tidak terintegrasi, bahkan saling bertentangan satu sama lain.

Penulis buku ini juga tidak lupa mengingatkan bahwa upaya perlawanan terhadap hegemoni (counter-hegemony) neoliberalisme ini harus terus digulirkan oleh gerakan-gerakan masyarakat sipil. Penulis menganjurkan agar gerakan-gerakan sosial yang terdiri kelompok-kelompok yang tidak terjebak dalam ilusi pasar bebas dan liberalisasi perdagangan harus terus melakukan upaya dekonstruksi, suatu upaya untuk meruntuhkan neoliberalisme dari posisi hegemoninya dalam formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia. Kapasitas negara dalam menjalankan dua fungsi dasarnya (fungsi keamanan dan fungsi kesejahteraan) harus ditingkatkan.

Penulis berpandangan bahwa keberhasilan gerakan sosial untuk melakukan counter hegemony, dengan demikian dapat membebaskan pemerintah Indonesia dari hegemoni neoliberalisme. Karenanya berbagai kebijakan-kebijakan yang membawa dampak negatif terhadap perekonomian rakyat dan melemahkan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya harus ditinjau ulang di bawah paradigma memihak kepada rakyat, atau bahkan dapat dilakukan moratorium (penundaan) atau bahkan penghentian segala bentuk liberalisasi ekonomi yang telah merugikan rakyat. Dalam hal ini, Penulis meyakini bahwa sebuah paradigma pembangunan yang benar-benar memihak kepada kepentingan rakyat harus ditegakkan sebagai landasan dari kebijakan ekonomi, sehingga cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan sejahtera dapat benar-benar terwujud di negeri ini.

-------------------------
Sumber: Dodi Mantra (2011). Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Mantra Press. Jakarta.

Penulis: Dodi Mantra (lahir di Palembang tahun 1982) adalah dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al Azhar Indonesia. Anggota dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHI).



Tidak ada komentar: