Baca

Baca

Jumat, 13 November 2015

"The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity"

IPT 1965





Candra Kusuma

Tanggal 10-13 November 2015 menjadi babak sejarah yang baru dalam polemik seputar ‘peristiwa 1965’ di Indonesia. Jauh di Den Haag negeri Belanda sana, di sebuah gedung antik bekas gereja, digelar sebuah pengadilan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Nama resmi kegiatan ini adalah The International People’s Tribunal for the 1965 Crimes Against Humanity,” tetapi di Indonesia umum disingkat menjadi ‘IPT 1965.’(Tentang konsep tribunal internasional, lihat "International Citizens’ Tribunals: Ketika Warga D...).

Meskipun diselenggarakan di Belanda, kegiatan ini bukanlah atas prakarsa pemerintah Belanda, namun merupakan inisiatif dari kalangan NGO, aktivis HAM, akademisi, praktisi hukum, analis, dan kelompok pendamping korban 1965 dari berbagai negara. Kabarnya, IPT 1965 sedianya akan diselengarakan pada bulan Oktober 2015, bertepatan dengan peringatan 50 tahun peritiwa G30S. Namun karena beberapa sebab akhirnya diundur menjadi tanggal 10 November 2015. Entah disengaja atau tidak, tanggal itu juga merupakan Hari Pahlawan di Indonesia.

Ketua Panitia Penyelenggara IPT 1965 ini adalah Nursyahbani Katjasungkana. Ada tujuh hakim yang memimpin sidang, yaitu Zak Yacoob (ketua), Sir Georffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman. Hakim Panitera adalah Szilvia Csevar. Sedangkan yang bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum adalah Silke Studzinsky dan enam orang lagi dari Indonesia, yang salah satunya adalah praktisi hukum Todung Mulya Lubis.

Selain itu, ada sekitar lima orang yang menjadi saksi ahli (diantaranya sejarahwan Asvi Warman Adam), dan sepuluh orang saksi fakta, yaitu mereka yang merupakan korban serta mengetahui dan/atau mengalami langsung peristiwa 1965 lalu. Para saksi fakta tersebut ada yang merupakan WNI, dan ada juga para exile yang terpaksa tinggal diluar negeri karena tidak diakui sebagai WNI atau mereka yang merasa terancam jika kembali ke tanah air pasca peristiwa 1965.

Dalam persidangan ini, pihak yang menjadi tergugatnya adalah negara Republik Indonesia. Jadi gugatannya tidak ditujukan pada individu atau organisasi tertentu. Pemerintah Indonesia tidak mengirimkan wakil/utusannya dalam sidang ini (in absentia). Dalam hal ini Indonesia dituduh telah melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda. Semua tindakan yang dituduhkan tersebut dianggap sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), dan termasuk terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisannya. Dua dakwaan utama yang diajukan para Jaksa dalam sidang ini adalah pembunuhan massal dan perbudakan.

Dari penyampaian kesaksian, ada banyak informasi dan cerita mengenai pembunuhan, kekerasan fisik dan verbal, pelecehan maupun pembiaran yang sudah pernah didengar oleh publik sebelumnya. Namun ada banyak pula yang tampaknya merupakan informasi yang baru bagi kebanyakan orang dan cukup membuat publik terhenyak, Contohnya, ketika salah seorang perempuan yang menjadi saksi fakta menyebutkan nama salah seorang introgrator --yang belakangan menjadi guru besar yang dihormati (laki-laki, dan saat ini sudah meninggal) di sebuah universitas ternama di Yogyakarta-- sebagai salah seorang pelaku kekerasan dan pelecehan pada masa itu.

Putusan pengadilan rencananya baru akan disampaikan tahun 2016 di Jenewa, Swiss. Namun sebagai ‘pengadilan rakyat,’ IPT 1965 sesungguhnya tidak memiliki yurisdiksi untuk menghukum siapapun. Bagi para inisiator dan pelaksananya, proses dan hasil IPT 1965 lebih diharapkan sebagai bagian dari membangun opini publik dunia yang dapat memberikan tekanan kepada pemerintahan saat ini agar mengakui adanya kejahatan oleh negara terhadap rakyat dan menyelesaikan kasus 1965.

Sidang ini tampaknya cukup menyedot perhatian, diliput banyak media internasional, dan juga dihadiri oleh banyak kalangan termasuk para exile baik yang hidup di Belanda maupun sejumlah negara Eropa lainnya. Dari sejumlah pemberitaan media, tampaknya mereka merasa senang pada akhirnya kasus ini dapat diangkat di pengadilan. Mereka berharap ini dapat membuka jalan penyelesaian yang adil, setidaknya berupa permintaan maaf dari pemerintah Indonesia, bukan kepada PKI, tetapi kepada para korban dan keluarganya.

Respon di Indonesia

Meski sudah 50 tahun berlalu, peristiwa seputar 1965 nyatanya masih merupakan isu yang paling sensitif di Indonesia. Meski terkesan tidak peduli, pemerintah Indonesia tampaknya cukup terganggu dengan kegiatan IPT 1965 tersebut.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap IPT 1965 hanyalah pengadilan semu dan bukan pengadilan sungguhan, sehingga tidak perlu ditanggapi serius. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum sendiri, dan pemerintah sudah berupaya  keras menyiapkan solusi untuk isu pelanggaran HM yang sistematis. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menentang pelaksanaan IPT 1965, dan menyatakan pemerinta tidak perlu minta maaf kepada PKI. Dia juga mengkritik pemerintah Belanda yang telah memfasilitasi pelaksanaan IPT 1965. Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa PKI-lah yang memulai pemberontakan dan melakukan pelanggaran HAM terlebih dahulu. Jusuf Kalla membandingkan dengan tindakan Belanda selama menjajah, di mana banyak rakyat Indonesia yang terbunuh. Kalla malah mengusulkan agar dilakukan pengadilan rakyat di Indonesia terhadap penjajahan Belanda tersebut. Luhut dan Ryamizard juga meminta Belanda tidak usah ikut campur, karena semasa mereka menjajah dulu juga banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada peristiwa Westerling.

Respon serupa juga muncul dari kalangan di luar pemerintahan. Budayawan Taufiq Ismail menyebut pelaksanaan IPT 1965 di Belanda sebagai tindakan ikut campur dan kurang ajar. Menurutnya pelaksanaan IPT 1965 di Belanda tidaklah tepat, karena Belanda-lah yang pernah ratusan menjajah Indonesia, dan sampai saat ini Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara hukum. Ridwan Saidi juga berpendapat senada. Menurutnya IPT 1965 tidak memiliki legitimasi. Belanda tidak punya hak untuk mengadili, justru sebaliknya Indonesia-lah yang lebih berhak mengadili Belanda. Baginya, pihak asing hanya memperkeruh situasi di Indonesia saja. Sementara pakar hukum dan Guru Besar Ilmu Hukum UNPAD Romli Atmasasmita berpendapat bahwa pemerintah harus bersikap tegas, dan WNI yang terlibat dalam IPT 1965 harus ditangkap dan dipidanakan karena telah melanggar Pasal 154 KUHP karena secara aktif telah menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia. Menurutnya pemerintah seharusnya mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Belanda karena mengizinkan diselenggarakannya IPT 1965 di negara mereka.

Rasanya belum ada survei khusus mengenai persepsi rakyat Indonesia terhadap IPT 1965 ini. Kalaupun nanti ada yang melakukan penelitian tentang hal ini, tampaknya hasilnya cenderung akan sangat dipengaruhi dengan pemahaman dan persepsi mereka sebelumnya mengenai ideologi komunisme, PKI dan peristiwa G30S. Namun demikian, dukungan dan simpati terhadap upaya IPT 1965 juga cukup banyak, setidaknya jika melihat respon dari kalangan NGO, aktivis dan akademisi yang peduli dengan isu HAM di Indonesia 

Namun, tanpa bermaksud menuduh Pemerintah Indonesia atau siapapun, ketika sidang IPT 1965 masih berlangung, nyatanya situs resmi IPT 1965 yaitu http://1965tribunal.org/id/ pada tanggal 12 November 2015 sudah di blok dan tidak dapat diakses di Indonesia.

Implikasi dan Kecenderungan

Pengadilan semacam IPT semacam ini bukan yang pertama kali dilaksanakan. Awalnya dirintis oleh dua orang filsuf yaitu Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre yang mengangkat isu mengenai kejahatan perang Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1967. Model ini kemudian dikenal sebagai The Russell Tribunal, yang pada akhirnya berkembang menjadi Permanent People’s Tribunal (PTT). Sejak tahun 1970-an, PTT sudah mengorganisir 20 sesi tribunal yang mengangkat isu intervensi militer ke negara dunia ketiga (contohnya kasus invasi Amerika ke Irak tahun 200-an), pelanggaran hak masyarakat adat dan pengrusakan sumer daya alam (kasus di Brazil), pelanggaran HAM oleh kediktatoran (kasus Marcos di Philippina), pelanggaran oleh perusahaan multinasional, kasus genosida di Armenia (tahun 1915), dll.

Tampaknya, ada kecenderungan dalam pengadilan/tribunal semacam ini, bahwa putusan/vonis yang dijatuhkan tidak melenceng jauh dari apa yang didakwakan kepada para tertuduh. Meskipun kemungkinan putusan IPT 1965 baru akan dibacakan pada tahun 2016 nanti, patut diduga bahwa vonisnya adalah bahwa sampai tingkat tertentu Pemerintah Indonesia terbukti bersalah, dan minimal harus meminta maaf kepada para korban.

Jika benar itu yang akan terjadi, maka itu merupakan kemenangan bagi para pendukung IPT 1965 dan penegakan HAM di Indonesia, dan akan menjadi amunisi tambahan bagi mereka dalam mengangkat isu ini selanjutnya.

Seperti disinyalir oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meskipun hasil IPT 1965 tersebut tidak memiliki memiliki makna hukum dan dapat diabaikan oleh Pemerintah Indonesia, namun tetap akan mengundang kontroversi di publik Indonesia. Opini publik akan terbangun bahwa pemerintahan yang lalu telah bersalah melakukan kejahatan kemanusiaan, dan pemerintah yang sekarang juga bersalah karena tidak mau mengakui, meminta maaf dan mengupayakan penyelesaian yang memadai dan adil bagi para korbannya.

Tidak dapat dipastikan apa tindakan lanjutan dari Pemerintah Indonesia atas IPT 1965 dan hasil putusannya nanti. Kemungkinan pemerintah tidak akan mengambil tindakan keras berupa penangkapan dan pemidanaan terhadap mereka yang terlibat IPT 1965, seperti yang disarankan oleh Romli Atmasasmita, karena justru akan memperburuk citra pemerintah di mata rakyat. Melayangkan nota protes diplomatik ke Pemerintah Belanda juga tampaknya tidak akan dilakukan karena akan membuat pemerintah terlihat konyol di mata dunia.

Namun membaca respon yang muncul, kemungkinan Pemerintah Indonesia saat ini juga tidak akan memenuhi hasil vonis IPT 1965, bahkan untuk ‘sekedar’ permintaan maaf sekalipun. Pelarangan penyebaran informasi dan diskusi terkait peristiwa 1965 juga masih akan dibatasi dan diawasi. Pelarangan dan deportasi bagi para exile yang dituduh terlibat PKI untuk sekedar pulang kampung dan berziarah ke makam keluarganya seperti yang belum lama ini terjadi, tampaknya juga masih akan berulang.

Karenanya, bisa jadi, bagi para pendukung upaya penyelesaian peristiwa 1965, tampaknya masih harus bersabar menunggu 50 tahunan lagi untuk memperoleh pengakuan dan permintaan maaf dari Pemerintah Indonesia. Nanti, barangkali setelah mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut sudah meninggal dunia, dan rakyat Indonesia saat itu sudah lebih ‘rasional’ memandang masa lalu dengan segala kebaikan dan kesalahannya.

---------------
Sumber:

Tidak ada komentar: