Baca

Baca

Jumat, 14 Maret 2014

"Habis berapa...?": Balada Para Pencari Suara...



“Ente’ piro…?”  
(Bahasa Jawa: Habis berapa?)

 Oleh: Candra Kusuma
Diolah dari hasil penelitian lapangan tahun 2012

Tahun 2012 lalu, saya melakukan sebuah penelitian kecil (tanpa sponsor lho ini…)  mengenai relasi sosial dan politik masyarakat terkait dengan Pemilukada di sebuah daerah di Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk melihat pengalaman mereka dalam membangun institusi warga, dan dalam membangun kontak dengan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta peran mereka dalam memantau proses pemerintahan dan pembangunan di daerah oleh Bupati/Wakil Bupati terpilih dalam Pemilukada.

Karena berurusan dengan Pemilukada, mau tidak mau akhirnya ngobrolin soal bagaimana pengalaman mereka (warga dan Cabub/Cawabub) berkaitan dengan “isu” politik uang dalam Pemilu secara umum: termasuk Pilpres, Pileg, Pemilukada bahkan Pildes. Sebagai sebuah penelitian kualitatif, datanya memang bersifat anekdotal saja, dan tentu tidak dapat dibuat gambaran penuh tabel dan diagram berwarna yang fancy ala lembaga-lembaga survei di televisi ya… 

Pola politik uang berubah: Rakyat Matre’?
Dari beberapa responden yang ditemui, baik dari kalangan aktivis warga maupun Cabub/Cawabub, ternyata punya pandangan yang sama bahwa DULU partai politik dan politisi hanya mengembangkan pola interaksi politik transaksional menjelang Pemilu atau Pemilukada saja. Tapi SEKARANG polanya sudah berubah sama sekali. Rakyat/pemilih cenderung LEBIH AKTIF, dalam arti mereka memulai terlebih dahulu terjadinya transaksi politik, berupa permintaan uang, barang, atau dukungan pembangunan fisik dan kegiatan di lokasi mereka.

Dahulu, di Kabupaten X mobilisasi politik dipandang lebih mudah dilakukan oleh para elit daerah, baik melalui pemanfaatan pengaruh para tokoh masyarakat, birokrasi, dan kekuatan uang. Kultur masyarakat dan birokrasi yang paternalistik mempermudah berlangsungnya proses pengendalian politik masyarakat. Dalam waktu lama, hubungan antara pemerintah dan masyarakat dikelola dalam relasi dimana salah satu pihak menganggap dirinya sebagai pemimpin yang harus mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan, dan pihak lain sebagai yang harus diarahkan, diawasi dan dikendalikan. Relasi patron-client diciptakan dengan sengaja dalam hubungan antara masyarakat dan elit, dan warga dengan pemerintah.

“Peran birokrasi, dari mulai Bupati sampai dengan Kepala Desa itu sangat berperan besar… dengan menggunakan instrumen kekuasaan… anggaran, dan lain sebagainya, untuk memanipulasi kehendak rakyat. Jadi yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi kehendak rakyat, padahal itu kehendak segelintir elit tertentu saja… Nah kenapa terjadi proses pembodohan seperti itu, ya karena memang rakyat tidak tahu, sangat miskin dengan informasi kan… Siapa calon, calon yang tepat untuk dipilih seperti apa… kan mereka masih abu-abu… sehingga ketika Kepala Desa, Camat, birokrasi berperan, dan digerakkan oleh kekuatan tertentu, akhirnya rakyat menentukan pilihannya berdasarkan arahan elit-elit tersebut, karena tidak ada yang menyadarkan… Disitu money politics segala macem… Politicking anggaran kan terjadi…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Namun, perubahan perilaku politik yang terjadi di masyarakat Kabupaten X sangat menarik untuk dicermati. Menurut para informan penelitian ini, perilaku politik yang transaksional saat ini tampaknya terjadi merata di semua lapisan dan pelosok masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan, baik mereka yang berpendidikan rendah maupun lebih tinggi. Dalam pengalaman mereka, perilaku tersebut bukan monopoli atau sepenuhnya inisiatif para politisi atau partai politik. Inisiatif untuk membuka ruang transaksional tersebut saat ini justru lebih banyak muncul dari masyarakat. Pengalaman dari calon independen yang mencoba membangun relasi politik non transaksional (tidak dengan “membeli suara”) menunjukkan sulitnya mengajak masyarakat untuk membangun relasi politik yang sehat. Diantaranya adalah pasangan Cabup dan Cawabup, sebut saja Jaka dan Toto (nama samaran), yang mengaku tidak mau terlibat transaksi politik uang, menyatakan kegelisahannya, sbb.:

Kemudian, sejauhmana respon masyarakat terhadap semua yang diomongkan calon… dan tuntutan masyarakat seperti apa?…. Itu dimana-mana, ketika saya omong ke sana omong ke sini, semua yang disampaikan itu usulan, seakan-akan kita ini adalah tim perencanaan anggaran, dan kita ini punya segudang duit untuk diimplementasikan di lapangan. Bahkan dia mintanya bukan setelah jadi, sebelum jadi dia sudah minta… Saya datang kesana, “Pak InsyaAllah lah, suara kami ke bapak. Tapi saya minta satu saja sekarang, punten itu jembatan kami diperbaiki…”. Nah itu… itu yang hampir selalu muncul… jadi udah ngga nyambung…”  (Jaka, nama samaran, mantan Cawabub)
----------------------------------------
“Intinya mah itu, masyarakat kita sebagian besar masih matre lah… urusannya duit… Jadi itu karena sebelumnya mereka kan merasa banyak dikhianati juga… Janji-janji kan banyak yang tidak terealisasi… Jadi apa yang bisa kepegang saja… Ya uang… Istilah mereka, lagi butuh aja nggak ngasih, nggak inget… apalagi nanti kalau sudah terpilih… pasti bohong… Logikanya sudah terbalik-balik seperti itu… Nah, di hari-hari terakhir menjelang pemilihan, tim sukses kita di lapangan itu termasuk calon-calon saksi menelpon, ‘Pak Toto, calon-calon lain mah ngasih beras 5 kg, 10 kg, plus uang Rp 20.000 an ke masyarakat … cik atuh barang Indomie-Indomie sabungkus atuh, sebagai tanda kita inget mereka….’ Tuntutannya tuh cuma Indomie barang sebungkus… Tapi saya tegas, selain juga nggak punya duit… Seorang satu Indomie, tapi kalau banyak kan tetap saja… Saya bilang, ‘Kalau memang nggak ikhlas milih, ya nggak usah milih… Saya tuh iklas mencalonkan diri mau melayani rakyat itu… Jadi saya juga butuh keikhlasan…,’itu aja jawaban saya…”  (Toto, nama samara, Cabub)
----------------------------------------
 “Bahkan warga di Kompleks Y yang orang-orang kaya, dan terdidik… Cina kaya, pribumi terdidik… Disitu orangnya kritis memang… Dari sekian calon, mereka melirik saya… Terus saya diundang… Wah kayak sidang ujian tesis… Gabungan warga beberapa RW… Tapi ujung-ujungnya mereka keukeuh wae mintaan duit… Nggak gede sih, minta buat biaya penyelenggaraan… Katanya mereka mau jadi relawan tim sukses tapi minta dana buat operasional… Tapi nggak menang saya disitu, tapi waktunya memang udah mepet, seminggu menjelang pemilihan baru ngundang saya… Ada suara untuk saya disitu, nggak besar, tapi minimal nggak nol-lah… Kelihatan ada bekas usaha mereka itu tadi…” (Toto, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Jadi memang money politics itu bukan cuma dari politisinya, tapi rakyat sendiri seperti itu… Itu pengalaman saya… Merata itu… Tapi ada yang tersentuh ya… Yang tersentuh itu yang militan… Jadi angka 4,9% suara yang dukung saya teh, saya yakin itu angka orang-orang idealis… Da’ pasti mereka kan digoda uang sama calon yang lain, tapi bertahan… Saya yakin mereka orang yang tegar… Suara murni lah… Jadi ya money politics itu bukan sistem… Orang pada nyalahin sistem dan politisinya yah… Tapi saya mah nyalahin rakyatnya juga… Tapi memang itukan ada sebab juga yah, kenapa rakyat jadi begini… Itu suatu persoalan sendiri…” (Toto, nama samaran, Cabub)

Pendidikan politik yang buruk dari para tokoh agama
Selain itu, dalam pandangan mereka, banyak tokoh agama dan lembaga keagamaan (khususnya pada agama yang dianut mayoritas penduduk Kabupaten X) yang justru seakan memberi contoh perilaku tersebut. Satu ungkapan menarik dari salah seorang calon mengenai hubungan antara fiqih (Keterangan: salah satu bidang ilmu dalam syariat yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya) dengan perilaku politik transaksional pragmatis:

“Perilaku fiqih itu berpengaruh sekali terhadap perilaku politik orang… Perilaku fiqih yang akomodatif, cenderung perilaku politiknyapun akomodatif… Jadi ada Persxx, Muhaxxxxxxxx, Syarexxx Isxxx, Nahxxxxx Ulaxx,… Jadi semakin akomodatif perilaku fiqih, itu semakin mudah sekali untuk kesana kemari…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Yang non formalnya, karena saya lihat di pendidikan non formal seperti pesantren, ini juga yang kemudian turut merusak pendidikan politik masyarakat. Jadi yang namanya kyai itu, semua calon itu diterima., ha…ha… Itukan di pesantren, disaksikan santrinya… Dan itu, kyai kan selalu pidato… selalu menerima calon, dan ujung-ujungnya minta pesantren dibereskan… mesjid dibereskan… Inikan selalu terjadi… momentum Pilkada… apalagi Pileg… Pileg itukan banyak calon… Calon ini diterima, itu diterima… begitu saja terus… didagangkan di depan majelis taklimnya, santri-santrinya…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Dan yang paling parah itu di kalangan Nahxxxxx Ulaxx, itu paling parah…he..he.. Jadi, mereka itu sudah deklarasi pada Putaran Kedua, menyatakan dukungan… kemudian kita lihat, tiga hari menjelang pemilihan, incumbent itu ngasih, ngasih, ngasih… kita cek, pada orang dekat kyai itu, sudah rubah… cepet sekali itu perubahannya… Karena Nahxxxxx Ulxxx struktural kan dukung kita… Tapi basis mereka ini kan pesantren…Sampai ada teman saya Nahdliyin yang bilang, “Sayah mah Pak, mending pake tim sukses residivis… Daripada kyai, pusing Pak… Kalau residivis kan kalau A ya A… dan murah… cukup dikasih rokok, paling uang saku Rp 50.000… langsung jalan…. Tapi kalau kyai, udah mahal, sambil ngga jelas lagi…”, ha…ha…” (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Saya melihat pesantren sekarang mengalami degradasi dalam hal partisipasi politik… Jadi kalau bicara politik, bersentuhan dengan pesantren, ya semua bakal tertipu habis… Kyai itu efektif sih ke santri atau jamaahnya… karena dianggap punya barokah… Jadi kalau berbicara politik, saya lebih percaya teman-teman daripada ke pak kyai…”  (Kusnadi, nama samaran, Cabub)
----------------------------------------
“Pesantren jangan ikut kemudian ikut mencemari perpolitikan… tapi harus mencerdaskan perpolitikan…Ada konsekuensi logis dari perilakukan politik kyai sekarang… Jadi kalau dulu kan, ketika Kyai X itu mengambil sikap, itu dampaknya puluhan ribu… Tetapi kalau kyai sekarang paling seribu dua ribu… Sekarang itu masih kuat, ada tokoh lain, berimbang sekarang… ada tokoh nasional, ada kyai… Nah sekarang masyarakat sudah menilai kan, kok begini..? Di mimbar ini suruh dukung ini… besoknya jadi rubah, sudah mulai bergeser… Karena harga mahal kyai itukan pada istiqomah… Begitu dia tidak istiqomah dia ditinggal… Lamun ceuk Sunda mah, ‘ulah murucan nu teu eucrek’… Jadi jangan memberi contoh buruk, karena pengawal moralitas bangsa itukan kyai… jadi kalau kyai sudah memberikan contoh buruk kepada masyarakat, itu pasti akan menggerus kharisma mereka… (Kusnadi, nama samaran, Cabub)

Biaya politik mahal
Biaya politik menjadi sangat tinggi, di mana pada akhirnya kekuatan uanglah yang menjadi faktor utama penentu kemenangan dalam Pemilukada. Konon, setidaknya setiap Cabup/Cawabub yang bertarung dalam Pemilukada 2010 di Kabupaten X tersebut harus keluar uang Rp 5 – 10 milyar.

Rakyat menerima pendidikan politik yang salah
Terjadinya perubahan perilaku rakyat sebagai pemilih tentu bukan tanpa sebab. Kondisi tersebut justru harus dipandang sebagai akibat dari gagalnya atau bahkan tidak adanya pendidikan politik yang sehat dari negara dan institusi politik khususnya partai-partai politik. Pendidikan politik selama Orde Baru hanya menghasilan pemilih yang hanya bisa “mencoblos” saja. Setelah “Reformasi” ternyata pendidikan politik bagi rakyat juga tidak sehat. Anggotannya, parlemen dan pemerintahan yang terpilih banyak yang justru menunjukkan perilaku yang tidak terpuji: banyak yang mangkir dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta menunjukkan perilaku snob serta banyak diantaranya yang terlibat kasus korupsi. Pada akhirnya rakyat juga “meniru” perilaku para politisi dan pejabat tersebut. Ungkapan “wani piro?” yang populer belakangan ini menjadi simbol dari perubahan perilaku dan relasi antara rakyat dan politisi dan pejabat tadi.

Sementara upaya pendidikan politik umumnya dilakukan NGO atau CSO, yang tentunya menjadi terbatas jangkauannya.

“Jadi pencerdasan-pencerdasan politik di kabupaten (ini) belum ada itu… Apalagi partai-partai politik yang melakukan pencerdasan politik itu cuma NGO-NGO kecil gitu kan… Ya dengan swadaya semampunya melakukan pencerdasanpencerdasan politik… Kalau partai politik ya gitu, yang diterapkan politik transaksionalnya, bukan pencerdasan masyarakat… Yang membawa visi misi untuk lima tahun ke depan gimana… jarang itu partai politik…” (Nanang, nama samaran, anggota Forum Warga)

Namun sebagai hiburan, perlu ditambahkan mengenai trend tersebut, yaitu bahwa fenomena vote buying juga terjadi dimana-mana di seluruh belahan dunia, meskipun secara normatif hal tersebut dipandang sebagai illegal. Uang dan politik memang saling terkait satu sama lain khususnya pada momentum pemilihan umum. Studi di Taiwan, Thaiand, dan Meksiko menunjukkan adanya jaringan broker politik yang berperan mempengaruhi jaringan sosial di masyarakat secara transaksional (Bryan dan Baer, eds., 2005). Sementara hasil studi di 22 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin oleh The National Democratic Institute (NDI), menggambarkan adanya keterkaitan antara politik uang saat Pemilu dengan korupsi yang terinstitusionalisasi dalam partai politik (Schaffer, ed., 2007). Dalam konteks Indonesia, temuan penelitian ini mengkonfirmasi kelemahan Pemilu/Pemilukada yang diulas Djojosoekarto dan Hauter (2003). Adanya jaringan broker politik dalam Pemilu/Pemilukada bahkan Pilkades juga dikemukan oleh Kusnadi, salah seorang Cabub yang menjadi informan dalam penelitian ini.

“Ente’ piro?"  -vs- “Entu’ piro?”
Apakah cerita tadi hanya anekdot yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu saja? Atau ini juga yang dialami oleh para Calon Legislatif yang saat ini tengah “berjuang” merebut hati rakyat dalam Pemilu 2014? Bisa jadi ceritanya masih mirip-mirip ya.  Sangat menarik kalau ada yang mau share juga disini…  Singkat kata, kalau boleh tahu, Ente’ piro? (Bahasa Jawa: Habis berapa?) buat modal keliling dan kampanye?

Tapi mengikuti cara berpikir teman-teman yang selalu positive thinking, maka tentulah dilarang untuk pesimis…  Bisa jadi proses belajar masyarakat secara umum memang baru sanggup sampai di level ini ya… Selain itu, pastilah masih banyak Caleg yang berniat lurus dan dapat memperoleh dukungan suara yang tulus dari konstituennya. Berhubung banyak teman dari Sabang sampai Merauke yang saat ini menjadi Caleg, saya doakan semoga tabah dan sehat selalu (kesehatannya dan keuangannya tentu). Amiin…

Dan sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa berharap, semoga setelah Pemilu 2014 nanti tidak sampai harus mengajukan pertanyaan tambahan, baik ke masyarakat maupun para Caleg  (terutama teman-teman yang jadi Caleg): “Entu’ piro?” (Bahasa Jawa: Dapat berapa?), baik mengenai perolehan suaranya, maupun hasil “pampasan perang”-nya… he...he...

2 komentar:

Candra mengatakan...

Info pembanding: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/21/162311/2533094/1562/siapa-memulai-praktik-politik-wani-piro-politisi-atau-pemilih

Jumat, 21/03/2014 16:32 WIB
Praktik Politik Wani Piro:
Siapa Memulai Praktik Politik Wani Piro, Politisi atau Pemilih?
ERWIN DARIYANTO - detikNews

Jakarta - Bagi sebagian calon legislator, kampanye pemilihan umum tahun ini bisa dirasakan adalah yang paling melelahkan dan bikin 'berdarah-darah'. Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin mengakui adanya fakta tersebut.

“Beberapa caleg yang saya temui mengeluh, musim kampanye tahun ini yang paling 'berdarah-darah' dan melelahkan,” kata Lukman saat berbincang dengan detikcom, Jumat (21/3).

Saat kampanye, masyarakat tak lagi melihat visi dan misi seorang caleg, melainkan besarnya uang atau bantuan yang diberikan. Pada pemilihan umum 2009 lalu praktik ini sebenarnya sudah ada, namun sekarang sangat terasa dan kian vulgar dilakukan.

Lukman yang kini maju sebagai caleg DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah VI menyarankan, seorang politisi tidak menanggapi tantangan wani piro ini. Apabila terpaksa tak bisa menolak, maka sebaiknya uang tersebut diberikan dalam bentuk sesuatu yang bisa memberi manfaat untuk bersama.

“Misalnya membangun prasarana olahraga, pendidikan, atau sarana sosial lainnya,” kata Lukman. Namun pria yang kini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini mengaku tidak mengetahui pihak yang lebih dulu memunculkan praktik politik wani piro ini.

“Susah menjawabnya. Seperti pertanyaan ayam dan telur mana yang duluan ada?,” kata Lukman. Pastinya menurut dia praktik politik transaksional atau wani piro ini jelas tidak ideal bagi demokrasi Indonesia.

Semestinya pemilih memberikan hak suara berdasarkan kesamaan visi dan misi dengan calon legislator. “Transaksi antara keduanya dibangun di atas fondasi kesamaan visi dan saling percaya. Ini yang ideal,” kata dia.

Saat transaksi politik dilakukan atas dasar kesamaan visi dan misi, maka hubungan pemilih dengan yang dipilih akan terikat dalam jangka panjang. Hubungan wakil rakyat dengan konstituen tidak terputus setelah pemilihan umum selesai.

Candra mengatakan...

Laporan Rilis Survei “Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Money Politic” oleh Indikator Politik Indonesia
Sumber: http://indikator.co.id/news/details/1/41/Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap-dan-Perilaku-Pemilih-terhadap-Money-Politics-

Indikator Politik Indonesia merilis hasil survey “Sikap dan Perilaku Pemilih Terhadap Politik Uang” pada 12 Desember 2013. Rilis survey menggunakan dua sumber data, yakni data kumpulan survey 39 Dapil sengan populasi 400 responden tiap Dapil yang dilakukan September-Oktober 2013, serta data survei nasional dengan sampel 1.200 responden pada bulan Maret 2013. Kedua sumber data menggunakan metode multistage random sampling dengan teknik pengambilan sampel respondennya.

Sebanyak 41,5% responden 39 Dapil menganggap bahwa politik uang merupakan hal yang wajar, sedangkan 57,9% menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima atau menolak praktek politik uang tersebut.

Aspek demografi seperti gender, perbedaan desa-kota, serta usia ternyata tidak berpengaruh atas tingkat toleransi terhadap politik uang. Tingkat pendidikan dan pendapatan lebih berhubungan erat dengan toleransi terhadap politik uang.

Namun, semakin tinggi party id atau kedekatan seseorang terhadap sebuah partai, maka tingkat toleransi terhadap politik uang juga cenderung menurun.