Baca

Baca

Kamis, 03 Juli 2014

“Pemilu dan Ancaman Kebebasan”



“Lari dari Kebebasan?”

Candra Kusuma


Whistling in the dark does not bring light.” Bahwa bersiul dalam gelap tidak akan menghadirkan cahaya. (Erich Fromm, The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 49).


Kebebasan Negatif -vs- Kebebasan Positif

Kebebasan adalah salah satu konsep yang banyak diulas dan diperdebatkan sejak lama oleh para pemikir, diantaranya oleh Erich Fromm dan Isaiah Berlin. Fromm adalah filsuf politik kelahiran Jerman tahun 1900. Dia menjadi saksi kelahiran dan kejatuhan kekuasaan Fasisme NAZI Jerman. Sementara Isaiah Berlin adalah filsuf kelahiran Rusia (sekarang Latvia) tahun 1909 dari keluarga Yahudi. Pada tahun 1920 --setelah Revolusi Komunis Bolshevik Rusia yang juga anti-Semit-- keluarganya melarikan diri dan kemudian menjadi warga negara Inggris. Pengalaman pribadi kedua pemikir tersebut turut melatarbelakangi filsafat yang mereka kembangkan, khususnya terkait dengan perlawanan terhadap gagasan Fasisme dan kekuasaan yang otoriter.

Fromm berpendapat, bahwa manusia modern memiliki kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan para pendahulunya, karena mereka telah mampu mencapai kondisi “bebas dari” berbagai hambatan dan penghalang. Manusia modern telah tidak terlalu dibatasi lagi oleh kekuatan alam, ajaran religius yang dogmatis, dan norma-norma sosial kaku abad pertengahan yang mengekangnya. Struktur masyarakat modern tersebut kemudian mempengaruhi manusia dalam dua cara sekaligus: manusia menjadi lebih mandiri, percaya pada diri sendiri dan kritis, namun sekaligus menjadi lebih terisolasi, sendirian dan ketakutan (The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 39).

Kebebasan yang  melahirkan keterasingan dan justru membuat manusia menjadi takut tadi, membuat manusia kemudian cenderung berpaling dari kebebasan itu sendiri sendiri. Menurut Fromm, kesendirian, ketakutan dan kebingungan tetap ada; manusia tidak bisa tahan menghadapi itu selamanya. Mereka tidak mampu menanggung beban "kebebasan dari," dan mereka terus mencoba untuk melarikan diri dari kebebasan sama sekali, kecuali mereka dapat berkembang dari kebebasan negatif (negative freedom) ke kebebasan positif (positive freedom) (Fromm, 1942: 49).

Manusia dapat mengembangkan "kebebasan positif"-nya jika dapat berhubungan secara spontan dengan dunia dalam cinta dan pekerjaan, dalam ekspresi yang tulus dari kapasitas emosional, sensual, dan intelektualnya. Dengan demikian ia dapat menjadi bagian lagi dari manusia, alam dan dirinya sendiri, tanpa menyerahkan sepenuhnya independensi dan integritas diri pribadinya kepada pihak lain. (Fromm, 1942: 51).

Pandangan Fromm diamini oleh Isaiah Berlin, yang juga membagi kebebasan secara umum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif adalah “kebebasan untuk” (freedom to) melakukan sesuatu. Sementara kebebasan negatif dimaknai sebagai “kebebasan dari” (freedom from) berbagai hambatan dan halangan (Isaiah Berlin, Liberty: Incorporating Four Essays on Liberty, 2002: 168-181; yang dikembangkan dari tulisan awalnya berjudul Four Essays on Liberty pada tahun 1969).

Ketidakmampuan manusia modern menghadapi kebebasannya sendiri membuat mereka kemudian menciptakan apa yang disebut Fromm sebagai “mechanism of escape from freedom”atau mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan. Dalam The Fear of Freedom: Escape From Freedom, Fromm menguraikan tiga mekanisme lari dari kebebasan yang umum digunakan, yaitu: otoritarianisme, kehancuran, dan penyesuaian diri secara otomatis (Fromm, 1942: 50-73).

(1)  Otoritarianisme (authoritarianism)
Mekanisme pertama melarikan diri dari kebebasan adalah kecenderungan untuk menyerahkan kebebasan individual diri sendiri dan untuk meleburkan diri dengan orang atau sesuatu di luar dirinya sendiri, dalam rangka memperoleh kekuatan yang dirasakan kurang dalam dirinya sendiri. Kekuatan diluar dirinya tersebut dapat berupa kelompok, organisasi, pemimpin yang kharismatis, kekuasaan otoriter, dll. Singkatnya, mekanisme pertama adalah berupa ketundukan dan berada dibawah dominasi pihak lain. Fromm menyebutkan bahwa secara psikologis kecenderungan yang muncul adalah masokhisme (kesenangan yang muncul dari rasa sakit fisik atau psikologis pada diri sendiri baik yang dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain) dan sadisme (kesenangan yang muncul dari menyakiti pihak lain secara fisik dan psikologis).

(2)  Kehancuran (destructiveness)
Bersumber dari rasa ketidakberdayaan, keputusasaan dan rasa terasingnya individu, yang menimbulkan kecemasan dan rasa kegagalan dalam hidup. Untuk menghilangkan rasa ketidakberdayaan tersebut, dengan menghancurkan pihak lain diluar dirinya, juga dengan kecenderungan merusak diri sendiri. Upaya aktif penghancuran tersebut dengan berbagai rasionalisasi: atas nama cinta, tugas, hati nurani, patriotisme, dll. Singkatnya, individu mengatasi perasaan tidak penting dibandingkan dengan kekuatan luar biasa dari dunia luar dirinya, baik dengan meninggalkan integritas pribadinya, atau dengan menghancurkan orang lain, sehingga dunia tidak lagi menjadi ancaman.

(3)  Penyesuaian diri secara otomatis (automaton conformity)
Menurut Fromm, mekanisme ini adalah modus paling umum yang dipilih oleh masyarakat modern. Singkatnya, individu tidak lagi menjadi dirinya sendiri, karena ia mengadopsi sepenuhnya jenis kepribadian yang ditawarkan kepadanya oleh pola-pola budaya. Individu menjadi identik dengan orang kebanyakan, atau berubah menjadi seperti yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, individu justru kehilangan dirinya sendiri.

Mekanisme melarikan diri dari kebebasan tersebut adalah pengejawantahan dari kebebasan negatif yang menjauhkan manusia dari “keaslian”-nya (authenticity). Bagi Fromm, hanya kebebasan positif saja yang dapat membuat individu tetap otentik, dalam pengertian individu yang dapat mengambil sikap dari pemikiran dan pemahaman pribadinya sendiri, dan bukan berasal dari tekanan pihak lain, atau tidak semata mengafirmasi kecenderungan dari pendapat umum yang ada di komunitasnya saja.

GOLPUT adalah hak dalam rezim demokrasi, dan bentuk perlawanan dalam rezim otoriter

Fitur utama dalam sebuah negara demokrasi salah satunya adalah adanya Pemilu yang bebas untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat dan pemimpin eksekutif di pemerintahan. Jadi kalau ada negara yang bikin Pemilu tapi dengan banyak pembatasan, pemaksaan, kekerasan dan kecurangan ya bisa dibilang negara itu tidak atau kurang demokratis lah…

Dapat dikatakan, Pemilu erat kaitannya dengan kebebasan khususnya kebebasan untuk mengekspresikan pandangan dan sikap politik (freedom of political expression). Pemilu diselenggarakan adalah juga untuk menjamin tetap terpeliharanya kebebasan politik itu sendiri. Walaupun ada sejumlah kasus di mana Pemilu justru menghasilkan pemenang yang kemudian membelenggu kebebasan warga negaranya, dan menciptakan bencana kemanusiaan yang besar. Contohnya adalah ketika Partai NAZI-nya Hitler yang Fasis memenangkan Pemilu di Jerman tahun 1932. Sementara di Indonesia, adalah ketika GOLKAR menjadi pemenang dalam Pemilu di Indonesia tahun 1971, yang kemudian menjelma menjadi Rezim Otoriter ORBA yang berkuasa 32 tahun lamanya.

Barangkali disitulah paradoks yang menjadi kelebihan sekaligus kelemahan dari sistem demokrasi, yaitu adanya “kewajiban” untuk tetap memberi celah kebebasan dan kesempatan hidup bahkan bagi ideologi dan embrio kelompok dan kekuatan politik yang cenderung kurang atau anti-demokrasi sekalipun. Karena sepanjang mereka tidak secara aktif melakukan penghinaan dan penyebaran kebencian terhadap pihak lain, atau melakukan pemaksaan atas pandangan, keyakinan dan agenda politiknya kepada warga negara lainnya, maka itu dipandang hanyalah perbedaan gagasan saja. Pluralisme justru menjadi basis bagi demokrasi, di mana ada pengakuan akan kemajemukan, keragaman budaya, kebebasan berpikir, perlindungan terhadap kelompok minoritas, serta penyelesaian konflik secara damai. Jadi jika masih ada penyelesaian konflik agraria antara petani dengan pengusaha yang melibatkan kekerasan misalnya, jelas tidak sejalan prinsip negara demokratis lah ya…

Dalam negara demokratis, partisipasi politik warga negara adalah kebutuhan, namun negara atau siapapun tidak dapat memaksa warga negaranya untuk berpartisipasi, karena justru akan bertentangan dengan prinsip kebebasan tadi. Dalam konteks Pemilu, partisipasi warga negara dalam Pemilu sangat diharapkan, tetapi jikapun ada diantara mereka yang berkehendak untuk tidak ikut memilih alias “GOLPUT”, maka itupun adalah kebebasan yang tetap harus diakui, dihargai dan dilindungi oleh negara ataupun warga negara lainnya. Sementara di negara otoriter, GOLPUT dalam Pemilu justru dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan. Rakyat dapat memilih untuk tidak ikut serta dalam Pemilu jika memang penuh kepalsuan dan pemaksaan, serta hanya digunakan sebagai alat legitimasi rezim yang berkuasa saja.

Hal tersebut menurut saya sejalan dengan pandangan Isaiah Berlin tentang “kebebasan,” -- yang saya terjemahkan semampunya--, bahwa:  “Inti dari kebebasan selalu bertumpu pada kemampuan untuk memilih sesuai apa yang ingin dipilih, karena Anda ingin memilih, tanpa paksaan, tanpa gangguan, tidak ditelan oleh sistem-sistem yang lebih besar; dan hak untuk melawan, menjadi tidak populer, untuk membela keyakinan Anda, karena itu adalah keyakinan Anda. Itu adalah kebebasan sejati, dan tanpa itu tak ada kebebasan apapun, atau bahkan sekedar ilusi tentang itu.” (Isaiah Berlin, Freedom and its Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, 2002: 103-104)

Pemilu 2014 ancaman bagi demokrasi dan kebebasan?

Pemilu 2014 menjadi unik karena hanya dua pasangan Capres dan Cawapres yang akan dikonteskan. Selain itu, kedua pasangan tersebut terkesan mencitrakan dua pilihan karakter kepemimpinan dan pemerintahan (nanti) yang akan berbeda. Tak terhingga sudah banyaknya berita, gosip, data, analisis mengenai hal tersebut yang diangkat di media massa dan media sosial, baik dalam bentuk kampanye positif, negatif bahkan hitam mengenai kedua pasangan tersebut. Calon pemilih tinggal melihat, membaca, memilah, menilai dan memutuskan mana bagian yang lebih masuk akal dan sesuai pertimbangan nurani, mana yang akan dipercaya dan menjadi pijakan untuk memilih.

Sebagian calon pemilih yang rasional dan berpikir positif mungkin akan lebih banyak mencermati sungguh-sungguh tawaran agenda program pembangunan yang ditawarkan oleh masing-masing kubu Capres dan Cawapres: Siapa yang punya agenda lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?. Sebagian calon pemilih lainnya lebih banyak menyoroti peluang dan ancaman dari kedua kubu tersebut terhadap aspek yang lebih mendasar: Siapa yang lebih berpeluang mendukung penegakan hukum dan HAM, serta membangun tatanan demokrasi yang lebih baik?. Sebagian calon pemilih lain yang apatis dan skeptik terhadap pasangan Capres dan Cawapres maupun kelompok pendukungnya, mungkin akan tetap memilih untuk tidak ikut memilih dalam Pemilu, alias GOLPUT saja.

Namun, barangkali memang menjadi satu kecenderungan alamiah manusia untuk gemar mengambil sikap ekstrem. Sangat mungkin, setelah lelah dipimpin rezim dengan gaya kepemimpinan yang kuat bahkan otoriter, sebagian menginginkan rezim yang lebih soft  dan demokratis. Sebaliknya, setelah kecewa pada rezim dengan kepemimpinan yang lemah, sebagian justru merindukan adanya rezim dengan karakter kepemimpinan yang lebih kuat, yang kurang demokratis, dan bahkan otoriter. Pengalaman Jerman dengan NAZI-nya di Pemilu 1932 membuktikan hal tersebut. Kecenderungan ini pula yang tampaknya terjadi saat ini di Indonesia. Bagi sebagian orang, demokrasi dan kebebasan justru menjadi ancaman dan menakutkan. Dalam konteks politik, tak mengherankan jika mereka kemudian mendukung atau menjadi bagian dari kekuatan yang justru cenderung membatasi kebebasan politik.

Mungkin agak neurotic, tapi sebagian orang melihat adanya kecenderungan Pemilu kali ini justru mempertaruhkan keberlanjutan dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri. Salah satu pasangan dinilai punya potensi untuk membangun kembali kekuasaan otoriter dibandingkan pasangan lainnya. Kekuasaan otoriter tersebut mungkin konon akan lebih “jinak” dari ORBA, namun tetaplah dapat berpeluang besar menjadi menciptakan kembali masa-masa kegelapan politik seperti di masa lalu. Tidak hanya secara langsung merupakan “orang dalam” dari ORBA itu sendiri, namun karakteristik personal dari sang Capres, rekam jejak yang kontroversial terkait dugaan kuat pelanggaran HAM di masa lalu, dan berkumpulnya kelompok-kelompok yang cenderung anti keberagaman dan tak segan menggunakan jalan kekerasan di kubu tersebut menjadi pertanda adanya kecenderungan tersebut. Sementara pada pasangan yang lain, khususnya pada partai politik utama yang  mendukung pasangan ini, juga berpotensi untuk sensitif terhadap kritik dan enggan berdialog serta cenderung lebih mengedepankan tindakan yang main hakim sendiri terlebih dahulu.

Apakah GOLPUT pilihan paling tepat di Pemilu 2014 ini?

Memang hanya di negara dengan sistem politik demokrasi yang dapat menawarkan kebebasan untuk memilih, bahkan kebebasan untuk tidak memilih dalam Pemilu. Di banyak negara lain, perjuangan kaum budak, perempuan, kaum kulit berwarna, masyarakat adat, kaum minoritas dan lainnya untuk dapat memperoleh hak politik hingga dapat turut memilih dan dipilih dalam Pemilu di negara mereka menjadi sejarah perjuangan politik yang panjang. Kita di Indonesia juga pernah mengalami meski kurang dari itu, yaitu ketika Orde Baru membatasi kebebasan memilih partai politik, penekanan untuk memilih partai politik tertentu, juga adanya pembatasan hak politik bagi para mantan tahanan politik. Bisa jadi saat ini kita kurang menghargai adanya kebebasan tersebut, dan baru menyadarinya saat kebebasan tersebut hilang atau berkurang nantinya.

Jika dikaitkan dengan pandangan Erich Fromm dan Isaiah Berlin mengenai kebebasan positif dan negatif di atas, pada dasarnya ruang politik cenderung mendorong orang untuk melarikan diri dari kebebasan individunya (kebebasan positif), untuk kemudian terserap dalam modus kebebasan negatif. Entah meleburkan diri menjadi bagian dari suatu kelompok/lembaga politik tertentu (modus otoritarianisme), atau sekedar mengikuti sikap yang kecenderungan umum di komunitasnya (modus “penyesuaian diri”  atau conformity).

Namun di sisi lain, GOLPUT yang dilakukan dengan sengaja dalam Pemilu-pun juga dapat dipandang sebagai bentuk lain dari melarikan diri dari kebebasan. Sejauh calon pemilih memiliki “kebebasan untuk” menentukan pilihannya sendiri (yang merupakan kebebasan positif), sementara di sisi lain dalam Pemilu yang akan diselenggarakan justru tengah dipertaruhkan masa depan demokrasi dan kebebasan, maka pilihan untuk GOLPUT justru menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan ulang. GOLPUT justru dapat menguntungkan kubu yang berpotensi lebih besar untuk mengancam dapat terciptanya demokrasi yang lebih kuat pada akhirnya. Pada akhirnya menjadi GOLPUT justru menjadi modus lainnya dari melarikan diri dari kebebasan seperti diungkapkan Fromm, atau bahkan menjadi "pengkhianat bagi kebebasan" seperti dikhawatirkan Isaiah Berlin. Untuk kali ini, menjadi GOLPUT dan untuk kemudian hanya menggerutu sendirian rasanya bukan menjadi pilihan yang tepat. “Whistling in the dark does not bring light.” Bahwa bersiul dalam gelap tidak akan menghadirkan cahaya (Erich Fromm, The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942: 49).

Seperti banyak kawan lain, saya sendiri termasuk “GOLPUT-er” khususnya pada beberapa Pemilu di  masa ORBA. Namun untuk Pemilu 2014 kali ini ada banyak pertimbangan lain yang “memaksa” saya untuk cuti dulu dari barisan GOLPUT. Saya sendiri memilih untuk akan ikut memilih dalam Pemilu Presiden nanti. Selain mempertimbangkan adanya peluang untuk memperoleh Presiden yang berpotensi membawa kesegaran dan perubahan dalam politik nasioal pada salah satu Capres dan Cawapres, saya juga agak khawatir dengan kecenderungan menguatnya ancaman bagi demokrasi dan kebebasan pada kelompok pendukung Capres yang lain. Merujuk apa yang diingatkan Fromm, bahwa: “…the defence of freedom against such powers that deny such freedom is all that is necessary”  (1942: 39). Bisa jadi pandangan ini berlebihan atau bahkan terbukti keliru nantinya. Tapi untuk kali ini, buat saya, ikut memilih rasanya punya sedikit alasan dan tujuan. Itu saja.

------------------------

Sumber:
- Erich Fromm. The Fear of Freedom: Escape From Freedom, 1942
- Isaiah Berlin, Freedom and its Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, 2002.

Tidak ada komentar: