Baca

Baca

Minggu, 09 Maret 2014

"Librisida, Bibliosida dan Mengapa Buku Dibenci"



Pertama kali melihat saat dipajang di sebuah toko buku, saya langsung tertarik. Sejalan dengan salah satu prinsip saya dalam menilai sebuah buku: "Pertama tama, nilailah buku dari cover-nya terlebih dahulu..." maka yang saya pelototin  ya pastilah cover-nya dulu. Bagaimana tidak, selain cover buku ini terbilang nyeleneh, judulnya juga sederhana dan to the point, yang buat saya cukup identik dengan jenis buku-buku serius yang ditulis dengan serius pula.

Dugaan saya benar. Pertama kali membuka isinya, saya langsung kagum dan iri dengan daftar pustaka yang digunakan Fernando Baez untuk menyusun buku ini, yaitu setebal 30 halaman (dalam format yang cukup rapat dan ukuran huruf yang kecil saja),  dengan referensi yang terentang dari zaman Sumeria sampai era modern sekarang. Tak heran, karena Baez adalah pakar perbukuan sekaligus Kepala Perpustakaan Nasional dari Venezuela, sekaligus penasehat UNESCO. Baez tidak hanya mengusai bahasa Yunani Kuno, namun juga seorang Doktor di bidang ilmu perpustakaan. Lebih keren lagi, ternyata Baez termasuk orang yang di persona non-grata-kan oleh pemerintah AS sejak tahun 2008 karena buku yang ditulisnya ini, serta salah satu bukunya yang lain yaitu yang mengulas dampak kerusakan kultural akibat invasi AS ke Iraq (La Destruccion Cultural de Iraq, 2004).

Judul asli buku ini adalah Historia Universal de la Deconstruccion de Libros (2003) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi A Universal History of the Deconstruction of the Book: From Ancient Sumer to Modern Iraq (2004). Pengantar versi bahasa Indonesia disampaikan oleh Robertus Robet (Dosen Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta) rasanya cukup merangkum pesan dalam buku ini. Robert mengutip istilah “librisida” (libricide) yang digunakan Knuth (2003) untuk menyebut “suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang.” Selain itu, “Librisida  juga mengindikasikan adanya kelompok dalam masyarakat yang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrem mengenai masyarakat.” Sementara Baez menggunakan istilah “Bibliosida” (bibliocide) dalam pemaknaan yang kurang lebih sama.

Menurut Baez, penghancuran buku bukanlah semata melihat buku sebagai benda fisik, melainkan sebagai tautan memori dan kesadaran akan pengalaman masa lampau. Menurut Milton (1644): “Barangsiapa menghancurkan buku, ia sedang membunuh Rasio itu sendiri…” Penghancuran buku terkait dengan upaya menghabisi memori penyimpannya. Sejarah, pengalaman, dan bahkan identitas dari masyarakat yang terkait dengan buku tersebut juga sedang dihancurkan. Penghancuran juga terkait dengan upaya memupus segala bentuk ancaman terhadap gagasan yang dominan atau dipandang unggul. Sebagai contoh, Kaisar Shih Huang Ti yang berkuasa di Cina tahun 213 SM memerintahkan untuk membakar setiap buku yang mengingatkan orang pada masa lalu. (Catatan: Wikipedia bilang, Shih Huang Ti artinya “Kaisar Pertama” di mana dia berkepentingan membuat sejarah resmi yang baru bagi negara barunya).

Yang unik menurut Baez, para “Bibliokas” (perusak/pengancur buku) ini juga memiliki “kitab”-nya sendiri -- apakah itu kitab suci tertentu, buku panduan sekte atau partai tertentu – yang dianggap memiliki sifat ilahiah dan menjadi pegangan para pengikutnya. (Catatan: Selain kitab-kitab suci yang sering dijadikan alat legitimasi, contoh lain adalah “Buku Merah Mao” yang berisi ajaran-ajaran Pemimpin Besar Cina, Mao Zedong). Bagi Baez, para Bibliokas adalah orang-orang dogmatis, karena mengangankan adanya pandangan dunia yang seragam dan absolut.

Dalam sejarah, api menjadi instrumen umum yang digunakan oleh para Bibliokas dalam pengancuran buku. Tidak hanya sekedar dapat digunakan secara mudah dan cepat dalam menghancurkan buku atau bahkan ribuan buku di perpustakaan, namun api juga menjadi simbol pemurnian  bagi para pelakunya. Di mana gagasan-gagasan yang “salah” dianggap telah disucikan kembali. Penghancuran buku juga kerap berada dalam “satu paket” dengan pembunuhan individu tertentu atau dalam skala massif berupa perang.  Jika di Abad Pertengahan buku-buku yang dituding sebagai mantra sihir berikut para pemiliknya (yang umumnya perempuan) banyak mati di tiang pembakaran, maka  dalam perang manusia modern saat ini manusia dihancurkan dengan senjata canggih, bahkan dari jarak yang sangat jauh. Namun intinya sama, seperti dinyatakan Heinrich Heine hampir dua ratus tahun lalu: "Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia."

Baez dengan sangat gamblang – berdasarkan kajian literatur yang kuat – menggambarkan bagaimana proses pengancuran buku di berbagai zaman dan belahan dunia. Mulai dari Sumeria, Babilonia, Mesir, Yunani, Cina, Romawi, Dunia Kristen, Dunia Islam, Mongol, Inkuisisi, masa Fasisme sampai terakhir di Iraq. Cukup membuat merinding bagi para pecinta buku… Sedihnya, daftar vandalisme para Bibliokas diluar yang sudah disusun Baez kemungkinan masih bertambah, jika melihat kecenderungan situasi politik yang terjadi di Libya, Mesir, Suriah, dan beberapa negara Balkan saat ini.

Sementara dalam konteks Indonesia, penghancuran buku yang didalamnya juga termasuk pelarangan buku dan sensor, juga memiliki sejarah yang panjang. Menurut Robertus Robert, di masa kolonial, banyak tulisan-tulisan para pemikir dan pejuang pra kemerdekaan yang dilarang beredar, diantaranya Student Hedjo karya Mas Marco Kartodikromo. Setelah 1945, pelarangan buku juga terjadi, seperti puluhan karya Pramoedya Ananta Toer. Bahkan buku Demokrasi Kita karya Mohammada Hatta juga pernah dilarang. Di masa “Reformasi” saat ini, pembakaran dan pelarang buku juga masih ditemui, bukan saja dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh kelompok-kelompok sipil tertentu yang melakukan pelarangan dan pembakaran buku-buku yang dianggap “Kiri” pada sekitar tahun 2007 lalu.*



* Untuk yang berminat dengan topik ini untuk konteks Indonesia, dapat juga dilihat Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, yang diterbikan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES), 2010.

--------------------
Judul         : Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa
Penulis       : Fernando Baez
Penerbit     : Margin Kiri, Tanggerang Selatan
Tahun        : 2013

Tidak ada komentar: