Baca

Baca

Rabu, 12 Maret 2014

"Community Development: 'Mimpi' yang Belum Mati"


Menggagas Perspektif “Baru” Pengembangan Masyarakat

Oleh: Candra Kusuma


Gagasan utama buku ini adalah mengenai pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang berlandaskan pada perspektif ekologis dan hak asasi manusia (HAM), sebagai alternatif jalan keluar dari krisis ekologis dan keadilan sosial/HAM yang terjadi di semua belahan dunia. Kebutuhan akan altenatif tersebut  dinilai justru semakin terasa signifikansinya di era globalisasi ini. Dalam membangun argumentasinya,  buku ini berangkat dari kritik terhadap dua isu di tataran makro, yaitu: krisis negara kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan yang menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar HAM. Namun, --menurut amatan saya-- kedua penulis juga sekaligus mengkritisi dua isu penting lainnya, yaitu di tataran meso adanya ‘kesalahan’ dalam memaknai dan melakukan upaya community development atau pengembangan masyarakat (baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta/perusahaan, NGO, maupun oleh masyarakat sendiri), serta di tataran mikro yaitu kelemahan terkait dengan values, orientasi, dan kompetensi/keterampilan pada diri pekerja masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut. Buku ini secara komprehensif dan ‘provokatif’ mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang atas gagasan pengembangan masyarakat, sebagai jalan ‘mendekonstruksi’ dan membumikan gagasan tersebut, untuk memberdayakan masyarakat (dan manusia) pada akhirnya.

Krisis Negara Kesejahteraan dan Krisis Ekologis

Ife dan Tesoriero tampaknya bersepakat dengan sejumlah penulis lain yang menilai bahwa krisis sumberdaya/fiskal di negara kesejahteraan ala Barat telah menimbulkan perlambatan ekonomi yang makin membebani pemerintah di negara-negara tersebut. Akibatnya, terjadi pengurangan jenis, jumlah dan mutu layanan publik.  Atas dasar itu negara kesejahteraan dianggap sudah tidak sanggup lagi memenuhi janji mereka akan kesejahteraan rakyatnya (Hal. 5-6). Dalam bahasa yang lebih lugas, tesis negara kesejahteraan dapat dikatakan telah gagal karena asumsi-asumsinya tidak mendukung pada prospek keberlanjutan gagasan itu sendiri (Hal. 20). Selain itu, negara kesejahteraan juga dinilai telah memberi dampak negatif bagi masyarakat, diantaranya adalah memandulkan modal sosial yang ada di masyarakat, dan menumbuhkan ‘ketergantungan pada orang asing’, karena hampir semua kebutuhan masyarakat diurus oleh negara melalui beragam tenaga professional sebagai perpanjangan tangan Negara (Hal. 35-40). Mengutip Dobson (1995), pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan-layanan kemanusiaan adalah konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara pasca-kesejahteraan’ (Hal. 26). Setelah institusi keluarga, institusi agama, pasar dan negara dianggap kurang berhasil memenuhi layanan masyarakat, Ife dan Tesoriero menganggap sekaranglah giliran ‘komunitas’ memikul tanggung jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan dalam bidang seperti kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesejahteraan” (Hal. 25-26).

Selanjutnya, Ife dan Tesoriero mengikuti kelompok pemikiran the Green dalam melihat masalah-masalah lingkungan hidup. Berbeda dengan kalangan pecinta lingkungan hidup tradisonal yang mengedepankan pendekatan konservatif yang lebih konvensional, Green menggunakan pendekatan yang mendasar dan radikal, yaitu perspektif ekologis, yang melihat  masalah lingkungan hanyalah merupakan gejala dari masalah mendasar yang lebih penting, yaitu sebagai konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan karenanya orde tersebut harus diubah (Hal. 55-56). Pandangan Green ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran kaum eko-sosialisme, eko-anarkhisme, eko-feminisme, eko-luddisme, anti pertumbuhan, ekonomi Green, kerja dan pasar tenaga kerja, pembangunan global, eko-filosofi, dan pemikiran paradigma baru (Hal. 56-86).  Dari pengaruh lingkaran pemikiran tersebut, saya melihat kecenderungan Green untuk menggunakan paradigma konflik dalam menganalisis masalah sosial yang ada, juga dari banyak rujukannya yang menggunakan argumentasi dari penulis teori sosial kritikal, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich, serta para pemikir dari tradisi Marxis lainnya. 

Gagasan inti dari perspektif ekologis tadi tergambar dari empat prinsip ekologis yang mereka tawarkan, yaitu: (a) Holisme, yang memaknai bahwa setiap kejadian atau fenomena harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan, dimana ada interdependensi, integrasi dan sintesis. Sehingga, harus dibuat kaitan yang terpadu antara pengetahuan dan aksi, teori dan praktek, serta fakta dan nilai. Prinsip ini melahirkan filosofi ekosentris yang menghormati kehidupan alam, menolak solusi linier, dan menginginkan perubahan organik (Hal. 91-92); (b) Keberlanjutan, berarti sistem-sistem dan sumber daya harus mampu dipertahankan dan dimanfaatkan dalam jangka panjang, yang diwujudkan pada orientasi konservasi, mengurangi konsumsi, mengembangkan ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, dan anti kapitalisme (Hal. 93-95); (c) Keanekaragaman, yang dengannya berbagai sistem alam diyakini mampu berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensinya adalah pentingnya penghargaan atas perbedaan, tidak ada jawaban tunggal untuk semua masalah, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, dan teknologi tingkat rendah (Hal. 95-98); dan (d) Kesimbangan, yang menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk menjaga suatu keseimbangan diantara sistem tersebut, yaitu keterhubungan dan perpaduan global-lokal, hak-tanggungjawab, gender, perdamaian dan kooperasi (Hal. 98-100).

Dari keempat prinsip tersebut, saya cenderung melihat Green menggunakan paradigma strukturalis fungsional dalam menganalisis masalah ‘internal’ ekologis sebagai sebuah sistem. Namun tampak jelas mereka berupaya keras membedakannya dengan apa yang diusung oleh teori-teori modernisasi (yang juga lahir dari paradigma strukturalis fungsional), yang meyakini adanya perubahan linier, top-down dan seragam serta berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi (yang dalam perspektif Green telah dianggap gagal karena tidak berkelanjutan). Turunan dari prinsip-prinsip di atas adalah bahwa pembangunan harus merupakan perubahan dari bawah (bottom-up), yang didasarkan pada pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal, menghargai keanekaragaman lokal-lokal tersebut, dan memberi peluang tiap-tiap lokal untuk tumbuh sesuai kebutuhannya (Hal. 282). Dalam hal ini, model pengembangan masyarakat menjadi solusi alternatif yang sangat logis dan ‘nyambung’ dengan perspektif ekologis tadi. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipandang belum cukup, karena perspektif ekologis dipandang tidak cukup mampu memberi perhatian dan mengatasi masalah yang terkait dengan pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar manusia (Hal. 100-101).

Saling melengkapi dengan perspektif ekologis tadi adalah perspektif keadilan sosial dan HAM. Berkaitan dengan isu HAM, pengembangan masyarakat lebih condong pada kombinasi antara perspektif struktural dan post-struktural, dibandingkan pada perspektif individual maupun reformis kelembagaan (Hal. 114-115). Karenanya, ketidakadilan dilihat lebih sebagai akibat dari adanya struktur yang merugikan/opresi terhadap kelas, ras, gender, distribusi pendapatan, kekuasaan, dsb., dibandingkan karena kesalahan individu atau ketidakberfungsian lembaga. Ketidakadilan juga dilihat sebagai akibat dari modernitas, dominasi dan kekerasan melalui bahasa, wacana, pengetahuan, dsb.  Upaya mewujudkan keadilan --sebagai lawan dari ketidakdilan tadi--, akan berkaitan erat dengan hak-hak, yang dalam hal ini HAM merupakan hak yang dianggap paling dasar dan bersifat universal (Hal. 116, 118, dan 121).

Ife dan Tesoriero berpandangan bahwa HAM merupakan komponen vital dalam pengembangan masyarakat, dimana proses pengembangan masyarakat tersebut seharusnya juga berarti penegasan HAM, memungkinkan orang mewujudkan dan melaksanakan HAM mereka, dan terlindung dari pelanggaran HAM (Hal. 122). Mewujudkan HAM sebagai kerangka bagi pengembangan masyarakat berarti mengupayakan terbangunnya suatu kebudayaan HAM yang kuat, yang sangat mungkin membutuhkan upaya dan waktu yang tidak sedikit (Hal. 125-126). Dalam hal ini, gagasan pemberdayaan (empowerment) merupakan gagasan sentral dalam strategi keadilan sosial dan HAM. Ife dan Tesoriero memaknai pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged) akibat kelas, gender dan ras/etnisitas, maupun kelompok dirugikan lainnya seperti perempuan, masyarakat adat/pribumi, kelompok etnis minoritas, kaum miskin, dll.

Model Pengembangan Masyarakat yang Berperspektif Ekologis, Keadilan Sosial dan HAM

Pengembangan masyarakat bukanlah gagasan baru. Dalam hal ini, Ife dan Tesoriero --menggunakan kerangka analisis di atas-- menilai upaya pengembangan masyarakat yang selama ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan telah gagal dan justru menyebabkan berkembangnya sikap pesimis dan skeptis terhadap kelayakan gagasan tersebut. Sebabnya jelas, yaitu karena menempatkan pengembangan masyarakat dalam skema proyek dan mengandalkan tenaga professional eksternal yang tidak sejalan dengan semangat dasar dari pengembangan masyarakat itu sendiri. Dalam buku ini, dengan lugas Ife dan Tesoriero mengkritik keras model pengembangan masyarakat berformat program/proyek tersebut:

“Terdapat banyak proyek atau lembaga konsultansi yang berjalan hanya untuk beberapa bulan, biasanya dengan seorang pekerja eksternal, dan hal tersebut secara naïf diharapkan untuk membuat sebuah perbedaan besar pada kehidupan suatu masyarakat. Proyek-proyek seperti ini seringkali sia-sia dan tidak berhasil, dan menyebabkan laporan-laporannya tidak berguna dan berbagai struktur masyarakat yang gagal. Akibatnya, proyek-proyek ini memberikan reputasi buruk pada pengembangan masyarakat” . (Ife dan Tesoriero, 2008:671)

Mengkaitkan antara berbagai perspektif tadi dengan komunitas, Ife dan Tesoriero menyatakan bahwa perspektif keadilan sosial dan HAM sesungguhnya menyediakan suatu visi dari apa yang secara sosial diinginkan yaitu sebuah masyarakat yang didasarkan atas definisi dan penjaminan hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi struktural dan keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan seterusnya (Hal. 190). Sementara, perspektif ekologis meyediakan visi dari apa yang layak, dan menguraikan jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, yaitu masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip holism, keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan (Hal. 190). Konsekuensi alamiah dari premis-premis kedua perspektif tadi adalah menempatkan komunitas sebagai basis pengembangan masyarakat (Hal. 190).

Jenis komunitas yang dipandang lebih cocok untuk pendekatan pengembangan masyarakat adalah komunitas geografis (Hal. 196). Penilaian tersebut berdasarkan ciri-ciri komunitas yang diajukan Ife dan Tesoriero, yaitu: (a) Komunitas melibatkan interaksi pada skala yang mudah dikendalikan individu-individu; (b) Didalamnya ada sebentuk rasa ‘memiliki’, diterima dan dihargai yang membentuk rasa identitas pada seseorang; (c) Ada tuntutan kewajiban dan kontribusi pada anggotanya; (d) Sebagai Gemeinschaft, interaksi tidak bersifat kontraktual dan dapat saling berkontribusi bagi kepentingan bersama; (e) Memungkinkan pemberian nilai, produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal berbasis masyarakat yang mendorong adanya keanekaragaman dan partisipasi yang lebih luas (Hal. 191-194).

Berangkat dari analisis maupun prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, Ife dan Tesoriero mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai proses pembentukan, atau pembentukan kembali, struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam mengaitkan dan mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan manusia (Hal. 3). Pengembangan masyarakat harus bersifat holistik --tidak hanya berdimensi tunggal, seperti hanya menekankan dimensi ekonomi yang terbukti gagal--, dimana terdapat 6 dimensi paling penting yang harus dilaksanakan secara seimbang, yaitu: dimensi pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, personal/spiritual (Hal. 410-482).

Selain itu, penekanan pengembangan masyarakat diarahkan lebih pada proses dan bukan hasil. Pendekatan ini memerlukan reorientasi khususnya bagi pekerja masyarakat yang umumnya terbiasa mengukurnya dari hasil (Hal. 335). Pengembangan masyarakat adalah perjalanan discovery (penjelajahan), dimana ketika terjadi atau menemui hal-hal yang tidak diharapkan, maka itu adalah peluang baru untuk belajar dan berkembang (Hal. 336). Seorang pekerja masyarakat yang sejak awal sudah mematok hasil yang jelas dari upayanya itu justru merupakan pekerja yang tidak memberdayakan masyarakat (disempowering community) karena justru akan menjauhkan masyarakat dari kontrol atas proses dan penentuan arah pengembangannya (Hal. 337). Dalam hal ini, sarana dan tujuan pengembangan masyarakat dipandang sebagai bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sekedar mencapai tujuan pelestarian ekologis, keadilan sosial dan HAM tidak berarti apapun, dan hanya akan berarti jika proses itu sendiri mencerminkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (Hal. 341).

Ifo dan Tesoriero juga menegaskan, bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat dipaksakan dari luar, sebagaimana yang umum terjadi selama ini. Keterlibatan masyarakat hanya dapat dicapai dari partisipasi penuh mereka. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi proses masyarakat yang dimiliki, dikuasai, dan dilangsungkan oleh masyarakat sendiri (Hal. 342). Mengutip Putnam (1993), bahwa semua pengembangan masyarakat seharusnya bertujuan membangun masyarakat, yang didalamnya melibatkan pengembangan modal sosial, memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah pada dialog yang sejati, pemahaman dan aksi sosial (Hal. 363). Sehingga, dalam kegiatan penelitian di masyarakat misalnya, model penelitian yang cocok dengan prinsip dan praktik pengembangan masyarakat adalah participatory action research (PAR), karena dianggap dapat menggabungkan penelitian tindakan dan kolaborasi (Hal. 607).

Terkait dengan tujuan pengembangan masyarakat tadi, partisipasi dipandang sebagai unsur sentral dan vital dalam pengembangan masyarakat yang ‘bottom up’. Partisipasi memungkinkan individu-individu memainkan peran kewarganegaraan dan bagi mereka terlibat secara kolektif dalam proses-proses kewarganegaraan sosial (Hal. 123, 139). Partisipasi terkait dengan HAM, karena mengaktifkan ide HAM, hak berpartisipasi dalam demokrasi dan memperkuat demokrasi deliberatif. Seperti halnya pengembangan masyarakat, demokrasi deliberatif menghargai kepakaran masyarakat, dan berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai pakar yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior (Hal. 294-295).

Pada akhirnya, menurut kedua penulis, sukses tidaknya upaya pengembangan masyarakat sampai tingkat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran dan kemampuan aktor penggerak yaitu pekerja masyarakat  yang terlibat aktif bersama masyarakat dalam upaya tersebut. Keduanya berpandangan bahwa model profesionalisme pada pekerja masyarakat tidak cocok dengan aktivitas kerja masyarakat. Bahkan, pendekatan profesionalisme bertentangan dengan pengembangan masyarakat (Hal. 656, 658). Mengutip Ivan Illich, profesi-profesi cenderung untuk memistifikasi, mengasingkan dan tidak memberdayakan para pengguna layanan (Hal. 657). Sederhananya, profesionalisme dapat menjebak pekerja masyarakat memainkan peran ‘dokter dan pasien’ ketika berhubungan dengan masyarakat. Konsekuensi logis dari penolakan terhadap model professional spesifik bagi praktek kerja masyarakat adalah bahwa ide dari kualifikasi pendidikan khusus kerja masyarakat juga harus ditolak (Hal. 660). Menurut Ife dan Tesoriero, sesungguhnya ada banyak pengalaman pendidikan yang berbeda yang dapat membantu untuk mempersiapkan seorang pekerja masyarakat untuk praktik (Hal. 660). Mengikuti pemikiran Freire, proses belajar terbesar sesungguhnya justru melalui pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan bersama masyarakat.

Ife dan Tesoriero mengungkap paradox yang fundamental pada diri pekerja masyarakat, yaitu “semakin lebih terampil, berpengalaman dan efektif seorang pekerja masyarakat, maka semakin masyarakat tidak diberdayakan dalam proses pemberdayaan tersebut”. Hal ini terkait dengan dilema mengenai bagaimana berperan serta dalam sebuah proses pengembangan dan peningkatan kesadaran tanpa memaksakan nilai seseorang pada suatu masyarakat (Hal. 663-664). Kekuasaan (power) dan dominasi menjadi isu dalam hal ini. Pengembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan cepat. Mustahil melaksanakan kerja masyarakat dalam waktu singkat. Setidakya ada dua isu disini, yaitu lamanya waktu komitmen dari pekerja masyarakat (khususnya pekerja masyarakat eksternal), dan terbatasnya orang atau organisasi yang mau membiayai atau mengelola berbagai program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang (Hal. 669-671)

Setelah menganalisis sejumlah kelemahan atau keterbatasan yang ada pada pekerja masyarakat, Ife dan Tesoriero juga mengajukan karakteristik yang ‘harus’ ada pada pekerja masyarakat. Menurut mereka, para pekerja masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi praxis pengembangan masyarakat, yang dimaknai sebagai adanya kesatuan antara proses refleksi kritis, analisis dan tindakan yang dilakukan secara bersamaan (Hal. 554). Keterampilan yang penting ‘dimiliki’ pekerja masyarakat, yaitu: analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan intuisi (Hal. 618-626). Selain itu, peran dan keterampilan memfasilitasi, mendidik, representasi, dan keterampilan teknis lain juga sangat diperlukan. Termasuk kemampuan mengatasi dilema moral dan mengembangkan jaringan pendukung dari berbagai pihak (Hal. 558-614, 673-674).

Penutup

Buku ini secara komprehensif telah menguraikan landasan pemikiran mengenai urgensi dari pengembangan masyarakat ditengah krisis global saat ini. Gagasan alternatif yang ditawarkan buku ini tidak hanya radikal dalam hal bagaimana model perubahan sosial dan pembangunan dijalankan, tapi juga  bagaimana model pengembangan masyarakat yang selama ini dikembangkan harus dirombak total mulai dari prinsip, pendekatan, model sampai dengan sikap dan keterampilan macam apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan itu semua. Menurut saya, jika harus diberi label baru --untuk membedakan dengan pendekatan lama--, pendekatan dalam buku ini mungkin dapat disebut sebagai perspektif ‘baru’ pengembangan masyarakat atau ‘neo-community development’. Gagasan kedua penulis mungkin juga dapat dikaitkan dengan semangat perlawanan terhadap budaya dominan (counterculture) dan pembongkaran atas narasi-narasi besar yang diusung oleh modernisme (postmodernism) yang muncul dan berkembang di masyarakat Barat dalam beberapa dekade terakhir.

Gagasan buku ini dapat dianggap sebagai hipotesis ‘baru’ yang mungkin saja punya peluang untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dalam arti gagasan mereka dapat menginspirasi dan diadopsi oleh banyak komunitas dan/atau lembaga kemasyarakatan tertentu untuk melakukan pengembangan masyarakat sesuai atau setidaknya mendekati apa yang dicita-citakan kedua penulis tersebut. Namun ada sejumlah isu yang dalam pandangan saya menjadi titik kritis yang perlu dicermati. Salah satunya, kedua penulis kurang membahas dan tidak menyatakan dengan tegas tentang apa dan bagaimana peran negara (pemerintah) dalam pendekatan ‘neo-community development’ ini. Pengembangan masyarakat dapat menjadi alternatif solusi atas masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, penanganan masalah narkoba, dll. Namun kemampuan komunitas untuk menangani masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih besar harus juga dipertanyakan. Padahal, dalam beberapa hal, pendekatan top-down yang hanya dapat dilakukan oleh institusi setingkat negara mungkin juga masih diperlukan. Kurangnya penjelasan dalam buku ini mungkin sepintas membuat gagasan kedua penulis tersebut menjadi mirip dengan gagasan komunalisme yang menganggap masyarakat terdiri dari bagian-bagian kecil, dimana negara hanyalah sekedar kumpulan dari komunal-komunal tersebut, atau anarkhisme yang memandang negara sebagai institusi yang tidak diinginkan, tidak diperlukan dan merusak.

Selain itu, gagasan Ife dan Tesoriero mungkin justru sulit diterima secara massif di negara-negara berkembang. Kedua penulis hidup di negara ‘Barat’ (mereka berasal dari Australia), yang sangat mungkin telah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana gagasan negara kesejahteraan itu muncul, tumbuh dan belakangan ini mulai tampak meredup. Sehingga ketika konsep tersebut mulai berkurang daya tariknya, gagasan-gagasan alternatif menjadi logis untuk dimunculkan. Namun, bagaimana dengan negara-negara  yang bukan ‘penganut’ negara kesejahteraan? Dalam konteks negara yang ‘sedang berkembang’ macam Indonesia, dimana masalah-masalah sosial seperti  tingginya kemiskinan, pengangguran, eksklusi sosial dan rendahnya akses dan kualitas pemenuhan kebutuhan dasar masih dialami oleh sejumlah besar warga negara, gagasan negara kesejahteraan cenderung masih dianggap sebagai ‘model ideal’ sebuah negara yang peduli dan aktif melayani kebutuhan warga negaranya. Indikasinya, sejauh yang saya ketahui, dapat dijumpai di banyak analisis dan pendapat para ahli di berbagai media ilmiah maupun populer, atau bahkan di ruang-ruang kuliah ketika para dosen dengan bersemangat membandingkan antara pelayanan sosial yang ada Indonesia dengan negara yang menjalankan model negara kesejahteraan. Artinya, dalam kondisi demikian sangat mungkin kalangan intelektual akademis di Indonesia tidak akan menyambut gagasan Ife dan Tesoriero dengan antusiasme yang memadai.

Hal lain yang juga mungkin akan menyulitkan gagasan ini dapat dilaksanakan secara penuh adalah tingginya standar kompetensi yang diharapkan ada pada diri pekerja masyarakat. Tidaklah mudah untuk menjadi atau dapat menemukan orang-orang semacam ‘nabi komunitas’ yang memiliki kemauan, kekuatan moral, kepribadian, pemahaman ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan, kemampuan manajerial, keterampilan dan dukungan sumber daya seperti yang diharapkan oleh buku tersebut. Sementara peran pekerja masyarakat (baik yang muncul dari dalam maupun dari luar komunitas) tampaknya memegang peran strategis, maka keterbatasan jumlah dan sebaran pekerja masyarakat tentunya akan mengurangi peluang keberhasilan upaya pengembangan masyarakat tadi secara luas, mengingat proses pengembangan masyarakat membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Meskipun demikian, menurut saya, buku ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membangun visi tentang bagaimana masyarakat mampu memberdayakan dirinya sendiri tanpa tergantung pada bantuan dari aktor eksternal. Gagasan dalam buku ini juga dapat menjadi bahan refleksi seluruh pihak tentang bagaimana struktur, proses dan kultur masyarakat yang  berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Gagasan mengenai pengembangan masyarakat dan pekerja masyarakat yang ‘ideal’ tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang utopis semata. Jika model ‘ideal’ tadi dapat dijadikan sebagai indikator-indikator dalam mengukur ‘keberhasilan’ (dalam arti proses dan capaian) dari upaya pengembangan masyarakat dan kompetensi serta kinerja para pekerja masyarakat, maka tiap-tiap komunitas dan pekerja masyarakat dapat mengukur sendiri berada di level manakah mereka ada saat ini, dan hal-hal apa saja yang masih perlu diperbaiki lagi.


-----------------------------------
Judul          : Community Development:  Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Edisi 3
Penulis       : Jim Ife dan Frank Tesoriero
Penerbit     : Pustaka Pelajar-Yogyakarta

Tahun        : 2008

Tidak ada komentar: