Baca

Baca

Rabu, 12 Maret 2014

"Economist with Guns"


Konflik dengan Kekerasan di Indonesia (1963-1968):
Perang Dingin, Peristiwa 30 September, Pembunuhan Massal
dan Munculnya Kekuasaan Birokratik Otoriter[i]

A.      Pengantar
Buku ini menggambarkan dinamika persaingan negara-negara adidaya, dimana aspek terpenting dari Perang Dingin bukanlah masalah militer, bukan masalah strategis, juga bukan orientasinya ke Eropa, tetapi terkait dengan pembangunan politik dan sosial di Dunia Ketiga, dan akibat yang destruktif campur tangan Amerika dan Soviet. Konflik ini terjadi ketika visi AS dan visi Soviet yang saling bertabrakan mengenai pembangunan dan program bantuan militer, ekonomi, dan bantuan teknik di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, yang berupa saling mempengaruhi seluruh sistem, kepentingan, kontrol atas sumberdaya dan nilai. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang di dunia ketiga, dianggap strategis dalam kepentingan regional dan menjadi perebutan pengaruh AS dan Soviet untuk saling bersaing secara langusung merebut pengaruh melalui bantuan militer, ekonomi, dan teknis.

Bradley adalah pengajar dan peneliti pada University of Maryland-USA. Bahan-bahan yang digunakannya dalam penulisan buku ini terutama bersumber dari berbagai dokumen diplomatik dan korespondensi yang telah dideklasifikasi (sudah melampaui batas usia statusnya sebagai dokumen rahasia) antar institusi dan pejabat di Amerika Serikat maupun dengan sekutu-sekutunya, yang berkaitan dengan Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada kurun waktu 1963-1968.

B.      Konteks Global: Konflik Ideologi dan Perebutan Sumberdaya

Perang Dingin
Dunia pada tahun 1960-an berada pada situasi puncak Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dunia Kedua tahun 1945 memicu persaingan dua kekuatan ideologi yaitu Blok demokrasi liberal yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok komunisme yang dikomando Uni Soviet sejak tahun 1947, yang juga berimplikasi pada terbentuknya pakta militer, yaitu NATO (1945) dan WARSAWA (1955). Disisi lain, banyak sekali negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka membentuk kelompok alternatif diluar kedua Blok tadi, yaitu negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (dibentuk tahun 1961, sebagai kelanjutan dari Kesepakatan Dasa Sila Bandung tahun 1955), dengan Presiden Sukarno (yang berarti juga Indonesia) sebagai salah satu tokoh sentralnya. Meskipun menyebut diri Non-Blok, namun pada kenyataannya masing-masing negara anggotanya memiliki preferensi untuk lebih dekat pada salah satu blok tertentu, atau bermain di dua kaki untuk dapat memperoleh keuntungan tertentu dari persaingan kedua blok tersebut. Sementara, hasrat meluaskan pengaruh ideologi, disertai kebutuhan yang sangat besar akan pasokan sumberdaya alam yang notabene sebagian besar berada di negara-negara eks jajahan tadi, membuat baik Amerika Serikat/sekutu maupun Rusia sangat berkepentingan untuk dapat memiliki pengaruh disana.

Pengaruh Amerika Serikat terhadap Indonesia
Pemaksaan teori modernisasi oleh AS, sebagai model pembangunan bagi negara-negara lain maupun superioriats kultural budaya barat dan tradisi Anglo Saxon (visi misioner dan kontrol penjajahan). Teori moderniasasi ini mendominasi dan diyakini bahwa kontak dengan dunia barat akan dapat mempercepat kemajuan negara-negara yang sedang berkembang. Para pembuat kebijakan, termasuk institusi internasional seperti IMF, menyakini bahwa pengalaman Amerika Serikat dan Inggris merupakan model yang berlaku universal, dengan mengabaikan situasi historis yang bersifat unik dan berbagai keuntungan yang kebetulan mereka miliki (hal 8). Kebijakan AS telah mendesakkan suatu program yang komprehensif bagi negara-negara sedang berkembang mengenai gerak dan arah modernisasi yang dikehendaki, berdasarkan sasaran yang ditentukannya dan berbagai batasan maupun kemungkinan yang muncul dari tahapan pembangunan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di suatu negara.

Visi pembangunan AS di Indonesia adalah visi pembangunan jangka panjang yang berkaitan dengan kepentingan geopolitik dan sikap anti Komunis. Visi ini bagi Indonesia telah memunculkan rezim yang berorientasi pada pembangunan yang diarahkan dan didukung oleh militer, yang diintegrasikan ke dalam ekonomi regional, dan terkait dengan institusi-istitusi multilateral. Visi AS ini (hal. 7) kuat tertanam dalam wacana mengenai modernisasi, yang membentuk cara pikir dan cara pandang mengenai Indonesia yang dipeluk para pejabat Amerika dan sekutunya di Barat dan di Indoensia, serta kebijakan yang mereke kedepankan untuk melumpuhkan PKI dan meletakan dasar bagi pembangunan politik dan ekonomi Indonesia.

AS menciptakan Agency of International Development. AS mengatur ekspansi bantuan ekonomi dan militer di seluruh dunia dan mengawali perubahan global dalam usaha-usaha mencegah pemberontakan, melapangkan jalan bagi pemunculan atau konsolidasi rezim modernisasi yang dimotori militer. Bantuan ini akan menentukan pembentukan arah pembangunan sosial, politik, dan ekonomi negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, dan mempercepat pembangunan  menuju modernitas yang ditentukan oleh AS (hal 12). Kebijakan luar negeri AS dalam hal ini Policy Planning Staf (PPS) Paper 51 dan NSC 482 yang mengimbau integrasi ekonomi Asia Tenggara dengan menghubungkan bahan-bahn mentahnya dengan kapasitas industri Jepang dan akses barat ke kawasan itu (hal 23). Kebijakan ini mengarahkan Indonesia anti komunis/mengimbangi kekuatan komunis.

Indonesia mendapat perhatian lebih besar dari AS dibanding negara lain di Asia Tenggara untuk dukungan kelembagaan, dan beasiswa yang diberikan kepada inidvidu, terutama kucuran dana dari Ford Foundation dan Rockefeller Foundation untuk pendidikan, pertanian, kesehatan dan bantuan teknis (USD 20 juta). Program kemitraan antara UI dan Unversitas of California, CENIS di MIT, Cornell University, Mc Gill University (Canada), terkait riset di AS mengenai Indonesia.

Untuk melawan daya tarik Soviet, pemerintah AS melakukan prakarsa diplomasi budaya melalui Kongres Kebebasan Budaya, yang didanai CIA dengan memanfaatkan VoA dan berbagai media, yang menekankan modernisasi liberal dan anti komunis. Di tahun 1953, diperkirakan 100 juta orang Indonesia menonton film-film Amerika yang ditayangkan diatas truk-truk US Information System yang berkeliling di seluruh Indonesia (Hal 41).

Pengaruh Uni Soviet terhadap Indonesia
Uni Soviet memiliki keunggulan daripada Barat dalam persaingan untuk mendapatkan loyalitas dari negara-negara Asia dan Afrika yang baru bangkit dari penjajahan, dan tak berkaitan dengan kemampuan militernya. Dalam bidang politik misalnya, perlawanan Soviet terhadap kolonialisme dan dukungannnya kepada hak-hak sipil warga non kulit putih, memukau tokoh-tokoh nasionalis, termasuk Sukarno.  Lebih penting lagi, Soviet telah menunjukkan industrialisasi negara mereka berkembang pesat sebagai model yang perlu diikuti negara-negara berkembang. 

Antar 1956 dan 1964 bantuan pembangunan Uni Soviet di Indonesia mencapai USD 120 juta per tahun, antara lain industri berat dan infrastruktur pembangunan. Ribuan orang Indonesia mendapat pelatihan teknis di Uni Soviet dan Eropa Timur, dan lebih dari 2000 orang Soviet untuk penyuluh pertanian dan penasihat teknis membantu Indonesia.

Posisi Indonesia
Kebijakan luar negeri Indonesia bersifat non blok, pencarian pembangunan oleh negara dan toleransi terhadap PKI. Tuntutan AS agar Indonesia menandatangani kesepakatan keamananan sebagai syarat untuk menerima bantuan militer dari AS. Indonesia menolak untuk bersekutu dengan AS dalam perang dingin.

Mayoritas bangsa Indonesia mengasosiasikan demokrasi gaya barat dan kapitalisme dengan kolonialisme, dan mencari jalan ke arah pembangunan ekonomi dan politik yang lebih bersifat kolektif, sosial demokratik dan punya akar-akar tradisi sendiri. Meski elit-elit politik bersepakat mengenai prinsip-prinsip diatas, namun belum memiliki konsensus apakah akan menempuh jalan pembangunan yang independen atau berintegrasi dengan ekonomi dunia.

C.      Konteks Situasi Nasional dan Penyebab Konflik 1950-an – Awal 1960-an

Menguatnya PKI pada Pemilu 1955
Pemilihan umum parlemen Indonesia pada tahun 1955 telah memunculkan PKI sebagai partai terbesar keempat di Indonesia dengan perolehan suara 16,5 persen, dan 30 persen suara hasil pemilu lokal di Jawa. Anggota PKI membengkak dari 200,000 orang menjadi 1,5 juta orang dalam kurun waktu 5 tahun (1954-1959). Komunis tidak dapat dikalahkan dalam kampanye pemilihan karena telah teroganisasi dengan sangat baik. Situasi inilah yang menimbulkan ketakutan bagi petinggi AS, yang seketika melihat angkatan bersenjata sebagai kekuatan penyeimbang PKI, dan Pentagon sudah membina hubungan militer Indonesia sejak tahun 1948. Menjelang akhir 1956, AS merasa yakin bahwa pemerintah Indonesia dan militer melemah di bawah pengaruh PKI.

Konflik dengan Kekerasan: RI –vs- PRRI 1958
Para perwira yang terasingkan dari sentralisasi kekayaan dan kekuasaan di Jawa, terasing dari birokrasi membelot dan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan pada bulan Februari 1958 melakukan pemberontakan yang didukung AS. Pemerintah Eisenhower ketika itu secara langsung campur tangan memberikan perlindungan udara kepada unit-unit militer pemberotakan dan menempatkan kapal-kapal AL agar bisa ikut campur tangan di Sumatera, serta memberikan pelatihan militer di fasilitas AS disekitar kawasan tersebut. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Jenderal Nasution, yang setia kepada Sukarno.

Keterlibatan AS dalam  PRRI memperburuk hubungan AS dan Indonesia. Uni Soviet kemudian menjadi satu-satunya negara donor dan pemasok persenjataan terbesar. Keadaan ekonomi Indonesia memburuk. Politikus dan personel militer pro AS dilarang, diasingkan atau ditahan. Uni Soviet yang mendukung Sukarno meluncurkan program bantuan militer dan ekonomi paska perang saudara tersebut mencapai USD 750 juta. Soviet menyediakan ratusan tank, kendaraan anti peluru, perlengkapan artileri, dsb. Bantuan ini secara signifikan memperkuat posisi Soviet di angkatan laut, udara, dan perwira angkatan darat di Jawa.

‘Merebut Irian Barat’: Operasi Trikora 1961-196)
AS berupaya memperbaiki hubungan dengan Indonesia dan melihat celah dalam isu perebutan Irian Barat. AS membaca keinginan Soekarno dan Jenderal Nasution untuk memodernisasi militer Indonesia. Bantuan militer dinaikkan menjadi tiga kali lipat antara tahun 1958-1959, dari USD 5,4 juta menjadi USD 16,9 juta. Modernisasi militer ini juga dibutuhkan untuk mendesakkan kembalinya Irian Barat, dan dari kacamata AS adalah untuk memperkuat posisi tentara berhadapan dengan militer. Terkait dengan perebutan wilayah Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, AS dalam hal ini Kennedy tidak mendukung klaim Indonesia atas Irian Barat. AS justru menghimbau kewajiban internasional Indonesia. Sukarno justru melihat masalah ini dari kacamata nasionalisme dan antikolonialisme Asia.  Namun demikian pemerintah AS tidak memiliki banyak pilihan, selain mengakomodir Sukarno, yang dianggap simpatisan komunis dan seorang tiran.

Penyelesaian Irian Barat Indonesia telah mencapai kesatuan wilayah yang sudah diperjuangkan sejak kemerdekaam. Kementerian Luar Negeri Inggris menyimpulkan bahwa optimisme berlebihan tidak bisa dibenarkan dan bahwa secara esential sifat militer, kemenangan Indonesia tampaknya akan mendorong untuk mengklaim wilayah lain. Saat itu, Presiden Soekarno berpandangan bahwa Indonesia bisa mengarahkan kembali perhatian politiknya pada pekerjaan raksasa pembangunan ekonomi,  dan para pejabat AS berharap  dapat mengelola energi itu ke arah program bantuan ekonomi dan militer yang terpadu.(hal,118)

Nasionalisasi Perusahaan Asing 1962
Dalam suasana tegang dan konfrontatif tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Sebelumnya, proses nasionalisasi pernah terjadi terhadap perusahaan-perusahaan  Belanda pada tahun 1957-1959 (terkait dengan konflik perebutan Irian Barat). Sementara nasionalisasi tahun 1962 ditujukan pada perusahaan asing lainnya terutama milik Inggris dan Amerika (terkait konfrontasi dengan Malaysia).

Konfrontasi dengan Malaysia 1962-1966
Tahun 1963 merupakan tahun yang krusial di kawasan Asia Tenggara. Tahun ini diwarnai oleh konfrontasi yang dilakukan oleh Indonesia (baca: Sukarno) terhadap usaha-usaha kemerdekaan/pembentukan Malaysia oleh Kerajaan Inggris dan Malaya Menurut Sukarno kebebasan Malaysia dari Inggris sudah sepatutnya menggunakan usaha revolusi bukan karena pemberian – yang disinyalir merupakan sebuah proyek kolonialisme.

Keinginan Sukarno untuk berkonfrontasi pada saat itu, menurut pandangan pengamat sejarah, didasarkan pada dua hal pokok, yaitu: kombinasi rumit atas ideologi, politik luar negeri, dan kalkulasi strategis atas wilayah Asia Tenggara, dan sebuah usaha pengalihan isu atas krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Namun pengamat sejenak melupakan bahwa dukungan di dalam negeri (oleh PKI dan militer) terhadap usaha konfrontasi mempertegas posisi politik luar negeri Indonesia saat itu.

Keinginan Amerika Serikat untuk memberi bantuan kepada Indonesia (modernisasi militer) saat itu terhambat oleh kondisi di Asia Tenggara, ada kekuatiran terhadap Sukarno dan militer Indonesia yang akan mengekspansi wilayahnya sampai ke Timor, Borneo Utara, dan Papua Nugini. Puncaknya pada bulan September 1963, saat Malaysia memproklamirkan dirinya tanpa memasukkan Sabah dan Serawak dalam wilayahnya. Saat itu juga Sukarno mendeklarasikan Indonesia untuk memutuskan hubungan luar negerinya dengan Malaysia, yang saat itu berimbas pada kondisi perekonomian Indonesia yang semakin sulit dan hubungan dengan negara Non-Blok lainnya. Hal ini berimbas pada kekisruhan yang terjadi di dalam negeri. Ini berdampak terhadap dua perusahaan minyak besar Stanvac dan Caltex yang kehilangan pasar bahan bakar di Malaysia dan menutup akses mereka ke gudang penyaluran dan fasilitas pengilangan di Singapura. Inggris pada saat itu masih kawatir dengan keadaan properti dan asetnya di Indonesia, terutama perusahaan minyak Shell.

Hubungan Indonesia dengan Amerika dan sekutunya (Inggris dan Australia) kembali memanas ketika Indonesia mulai meningkatkan hubungan diplomatiknya dengan Vietnam Utara dan eskalasi konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini menunjukkan bagaimana konflik antar dua negara (Indonesia-Malaysia) mampu memberikan pengaruh pada dunia Barat. Hal ini membuat Amerika kembali berpikir mengenai strateginya untuk meredam Sukarno, yang didukung oleh PKI dan sebagian militer. Tahun 1964 merupakan tahun dimana PKI mendapatkan dukungan yang besar, sehingga memiliki peran sosial politik yang besar.

D.      Upaya Awal AS Memodernisasi Indonesia

Di awal tahun 1960-an, Deputi Wakil Menlu untuk Urusan Politik AS Alexis Johnson menulis artikel berjudul “Internal Defense and Foreign Service” (Pertahanan Dalam Negeri dan Layanan Luar Negeri). Artikel itu memaparkan tantangan yang dihadapi Washington ketika para petani terbelakang di negara-negara berkembang bangkit dari apatisme. Amerika menjawab tantangan ini melalui program militer dan ekonomi terpadu yang diarahkan pada akar-akar subversi dan manifestasi konkretnya yaitu melalui strategi kontrasubversi dengan tujuan pengembangan kemampuan polisi dan militer yang efektif untuk menjaga keamanan dalam negeri dan digabung dengan bantuan ekonomi dan teknis untuk menciptakan infrastruktur manusia dan material pembangunan. (hal.85)

Artikel tersebut merangkum pemikiran Amerika Serikat tentang sejumlah besar negara non-Barat awal 1960-an, yang membeberkan gambaran suram mengenai transisi negara bekas jajahan menuju modernitas, sifat ancaman komunisme dan kekuatan-kekuatan ‘subversif’ yang lain, serta relasi antara bantuan militer dan bantuan ekonomi dalam kebijakan AS, semuanya disaring melalui  teori modernisasi. Tulisan itu juga merefleksikan konsep  “modernisasi militer”, yaitu adanya kebijakan yang secara eksplisit mendukung rezim-rezim militer yang menjadi barisan terdepan pembangunan politik dan ekonomi.Menjelang penyelesaian krisis Irian Barat oleh PBB tahun 1962, visi modernisasi militer tampil sebagai panduan kebijakan AS untuk Jakarta. Melalui bantuan teknis, kontrapemberontakan, program-program gerakan rakyat dan usaha multilateral untuk menstabilkan ekonomi Indonesia dan memosisikannya pada jalur realitas ekonomi. (hal.86)

Pemerintahan Kennedy meluncurkan sejumlah program yang salah satunya program gerakan rakyat di Indonesia sebagai bagian dari fokus global baru mengenai penumpasan pemberontakan. Kennedy mengirim misi ekonomi yang dipimpin oleh Donald Humphrey dari Universitas Turfs dan Walter Salant dari Brooking Institution, untuk mengkaji kondisi Indonesia dan membuat rekomendasi Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana teori modernisasi mempengaruhi pemikiran AS mengenai Indonesia dan inisiatif kebijakan konkretnya.  Tim kajian ini berpendapat bahwa akar masalah negara Indonesia adalah disfungsi internal dan mismanajemen. Misi Humphrey menganalisis Indonesia sebagai ekonomi periferal klasik, mengekspor bahan mentah ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang untuk ditukar dengan barang konsumsi dan pabrikan, modal dan suku cadang.Laporan itu menunjukkan bahwa Indonesia secara sosial dan ekonomi tertinggal sejak kemerdekaan. (hal.87-88)

Misi Humphrey meminta pemerintah AS memberikan bantuan senilai $325-390 juta untuk Indonesia, dengan hampir setengahnya ditanggung secara multilateral oleh Eropa dan Jepang. Tujuan perluasan bantuan ini dalah untuk meningkatkan bantuan pendidikan dan pelatihan teknis, meningkatkan infrastruktur transportasi Indonesia, mendayagunakan kelebihan kapasitas industri, memperluas penambangan sumber daya alam dan produksi pertanian, serta memberi bantuan modal swasta untuk pengembangan industri kecil. Para pejabat dan ilmuwan sosial  AS yakin bahwa modal asing, saran, dan kontak akan berguna sebagai katalis untuk negara-negara berkembang. Ekonom Theodore Morgan, menyampaikan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah yang mengupayakan pertumbuhan ekonomi dapat bersandar pada negara-negara berpendapatan tinggi dalalm hal-hal penting. Pandangan anggota misi Humphrey Walter Salant berpendapat bahwa bantuan teknis dan investasi swasta luar negeri itu perlu tapi hanya sebagai solusi yang terbatas untuk kebutuhan-kebutuhan pembangunan di dunia ketiga. Sebagai penganut teori Keynes yang terkenal secara internasional, Salant mengaitkan bantuan publik AS secagra langsung dengan proses  modernisasi dan mengaskan bahwa pendanaan eksternal untuk pembangunan dapat membantu menciptakan pasar bagi barang dari Amerika dan Eropa melalui pembangunan infrastruktur lokal dan peningkatan data beli negara-negara dunia ketiga, terutama di Asia. (hal.90-91)

Sisi lain dari bantuan ekonomi  AS adalah Military Asistance Program (MAP), yang menyediakan pelatihan militer dan polisi, senjata serta perlengkapan bagi angkatan bersenjata Indonesia untuk menjalankan gerakan rakyat. Komitmen AS terhadap militer yang terus meningkat, menandai perubahan konseptual dan doktrinal pemerintahan Kennedy yang sudah jauh melampaui preferensi umum yang prnah diucapkan para pendahulu Kennedy mengenai rezim militer sebagai benteng pertahanan anti-komunisme dan stabilitas.Dukungan pemerintah AS atas modernisasi militer pada awal 1960-an muncul bersamaan dengan perkembangan riset ilmu sosial Amerika yang sampai akhir tahun 1950-an memperlihatkan karakter yang disebut oleh seorang cendekiawan “oposisi liberal erhadap rezim-rezim militer”. Perubahan besar ini sebagian merupakan respon atas rencana bantuan militer dan ekonomi Uni Soviet yang terus bertambah untuk negara-negara berkembang, kekhawatiran terhadap dampak revolusi Kuba, gelombang kudeta militer di Asia dan Afrika, serta peran politik dan ekonomi yang lebih besar yang dirancang oleh angkatan bersenjata. (hal.92)

Meskipun Departemen Luar Negeri dan pejabat IMF berbicara tentang “stabilisasi ekonomi” dalam terminologi yang secara moral dan politik netral sebagai jalan kembali ke rasionalitas ekonomi, implikasi-implikasi yang mungkin timbul dari stabilisasi ekonomi Indonesia tergolong dramatis. Para pengkritik kebijakan IMF di negara-negara berkembang kini memiliki bahasa untuk menggambarkan apa yang ditawarkan, sebuah kebijakan penyesuaian struktural (structural adjusment policy). Pemerintahan Kennedy enggan terlibat dalam politik “sapping-memerah” Indonesia  karena dukungan di Jakarta dan Washington minim, prospek keberhasilan diragukan, dan konsekuensi kegagalannya sangat destruktif. Tetapi stabilisasi adalah kondisi sine qua non dari strategi pemerintahan Kennedy pasca-Irian Barat (hal.119).

Di lain pihak, para penentang bantuan untuk Indonesia di Kongres melihat alternatif lain untuk ketergantungan Indonesia pada Amerika Serikat, pada 1963 mereka (bukan PKI) menjadi penentang terbesar visi modernisasi Gedung Putih. Serangan mereka yang bertubi-tubi terhadap Indonesia menyoroti serangan yang lebih luas pada bantuan asing New Frontier yang ditentang oleh kelompok nasionalis konservatif yang juga menolak Trade Expansion Act 1962 dan selanjutnya Great Sosiety. H.R. Gross (Republikan –IOWA), penentang gigih bantuan untuk Jakarta, menyatakan dalam Congressional Record national Economic Council, bahwa jika peradaban  barat ingin terus berlanjut, Amerika Serikat harus membangun ulang “perekonomian yang memperbarui dirinya sendiri”, mengakhiri pengeluaran pemerintah berskala besar, dan mengakhiri “kekacauan New Deal-Fair Deal-New Frontier” bantuan luar negeri. Perlawanan di kongres terhadap proposal bantuan luar negeri pemerintahan Kennedy menegaskan fakta yang diabaikan oleh para cendekiawan pendukung teori modernisasi sebagai ideologi : bahwa resep-resep modernisasi para teoritisi terikat pada konstituen-konstituen sosial tertentu dan berakar dari konsep tertentu ekonomi politik Amerika di dalam dan luar negeri. (hal.127)

E.       Peristiwa 30 September dan Akibatnya

Politik Indonesia akhir 1964-1965 semakin terpolarisasi, karena Sukarno semakin dekat dengan PKI dan menentang kepemimpinan militer (Angkatan Darat) (hal. 196). Militer sebagai pesaing utama berupaya mencari cara dan sekutu untuk membendung semakin menguatnya pengaruh PKI baik di pemerintahan maupun di lapisan bawah. Pengaruh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya juga semakin berkurang, seiring dengan konflik-konflik yang telah diurai sebelumnya.

Sampai kemudian terjadilah Peristiwa 30 September 1965, dimana sejumlah petinggi militer dari Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh kelompok yang menyatakan ingin menyelematkan Presiden Sukarno dari penggulingan ‘Dewan Jenderal’ yang didukung CIA. Namun gerakan tersebut ternyata tidak membesar dan meluas, karena kurang terencana dan dilaksanakan dengan ceroboh. Mayor Jenderal Suharto (Komandan KOSTRAD) dengan cepat menghancurkan pasukan tersebut, mengambil kendali TNI dan menuduh ‘upaya kudeta’ tersebut dilakukan oleh PKI (hal. 229).

Selanjutnya terbangun gerakan anti PKI yang dipimpin oleh militer (Suharto, dengan perangkat utamanya KOSTRAD, RPKAD, dan OPSUS) yang didukung oleh Amerika Serikan dan sekutu-sekutunya (termasuk Jepang dan Thailand). Bahkan Rusia yang notabene komunis-pun mendukung gerakan tersebut dengan tujuan mendiskreditkan pesaing komunismenya yang lain yaitu Cina. Suharto menggunakan tangan-tangan kelompok-kelompok mahasiswa dan pelajar untuk menggalang demonstrasi anti PKI dan kemudian anti Sukarno. Selain itu, yang paling penting, adalah penggunaan tangan militer, organisasi massa dan organisasi keagamaan (Islam) untuk memburu, menangkap dan bahkan menghabisi ‘PKI sampai ke akar-akarnya’. Akibatnya ratusan ribu bahkan diduga lebih dari 1 juta jiwa rakyat terbunuh, ditahan, disiksa, atau dipenjara, yang kebanyakan hanya rakyat kebanyakan yang tidak banyak tahu atau terlibat dengan PKI.

Amerika Serikat terlibat dalam operasi penumpasan PKI tersebut, baik dalam pemberian informasi, dukungan senjata, logistik, uang, black propaganda mengenai kekejaman PKI, ataupun ‘janji’ untuk akan terus mendukung militer jika serius membasmi komunisme di Indonesia. Selain itu, untuk kebutuhan jangka panjangnya, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya juga memandang militer sebagai kelompok masyarakat yang paling siap mendukung modernisasi di Indonesia. Dengan keberhasilan Suharto, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya memperoleh sejumlah keuntungan: (a) Mengeleminasi komunisme di Indonesia; (b) Berhentinya Konfrontasi dengan Malaysia; (c) Terhentinya permusuhan terhadap kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan sekutunya, dengan tidak adanya nasionalisasi perusahaan asing; (d) Dengan beralihnya kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, maka terbukalah peluang memperkuat pengaruh, akses dan keuntungan ekonomi-politik, melalui berbagai bantuan, hutang dan investasi khususnya di industri ekstraktif (tambang, kehutanan, dll.) di Indonesia.

F.       Modernisasi ala Militer dan Ekonom Teknokrat

Sambil terus mendorong pembersihan pengaruh PKI, Amerika mendorong penguasa baru Indonesia untuk mengkonsolidasikan sebuah ‘rezim yang moderat, bertanggung jawab, dan mengutamakan ekonomi’ (hal. 276). Gagasan modernisasi tersebut semakin kuat karena W.W. Rostow (ekonom penganut teori pertumbuhan ekonomi) yang kemudian menjadi penasehat keamanan nasional pemerintah Amerika Serikat. Karenanya tugas militer Indonesia adalah bergerak untuk mendapatkan bantuan, menyelamatkan, menstabilkan, dan merehabilitasi ekonomi, merengkuh kembali kreditor dan investor (hal. 277). Disisi lain, militer Indonesia juga membutuhkan sekutu dan dukungan dana/logistik untuk menyediakan kebutuhan tentara dan kebutuhan dasar rakyat untuk membuktikan bahwa mereka mampu memperbaiki buruknya situasi ekonomi sebelumnya.

Amerika memandang otoritarianisme Indonesia sebagai ‘campuran yang pas’ bagi tingkat pembangunan Indonesia kala itu (hal. 278). Karakter KKN khususnya di militer tersebut juga tidak terlalu dipermasalahkan, dan bahkan dapat digunakan untuk tujuan-tujuan Amerika sendiri (hal. 280). Amerika meyiapkan dua skenario pemerintahan baru Indonesia, yaitu: (a) pemerintahan yang didominasi oleh para ‘modernizer’ seperti Adam Malik. Namun kultur Indonesia dianggap belum siap; (b) Pemerintah yang berupa campuran antara ekonomi negara-pasar dan rezim klientelistik yang didominasi oleh tentara, yang didalamnya kaum ‘modernizer’ diizinkan membentuk kebijakan ekonomi, yaitu rezim militer yang dimodernisasi (hal. 280).

Para teknokrat yang memang merupakan hasil didikan Amerika dan tetap menjalin hubungan dengan pejabat Amerika, diantaranya Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Subroto, Ali Wardhana, Emil Salim, dll. (hal. 281). Duta Besar Amerika kala itu menyatakan “Dalam semua tingkat pertimbangan mereka, para teknokrat itu telah begitu dekat dengan Kedutaan (Amerika) dan menerima komentar-komentar kita” (hal. 281). Pada akhirnya , ada benturan antara para teknorat dengan budaya ekonomi terselubung di birokrasi dan militer. Secara konsep kalangan militer juga lebih lemah dibandingkan para teknokrat tersebut. Situasi ini mendorong dilakukannya seminar mengenai ekonomi Indonesia, yang tujuan utamanya adalah membangun konsensus dikalangan petinggi militer mengenai masa depan ekonomi Indonesia. Posisi dan masukan para teknokrat kemudian menjadi lebih didengar, dimana mereka kemudian banyak ditempatkan di posisi strategis seperti di Bappenas, komite investasi, dll. (hal. 293-294). Kolaborasi antara militer dan teknokrat inilah yang kemudian menjadi jantung dari kekuasaan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun. Secara internasional, model konsolidasi ekonomi-politik di Indonesia dijadikan Rostow (AS) sebagai ‘model baru bantuan multilateral di Asia (hal. 295).

E. Pemetaan Konflik

Pemetaan konflik berdasarkan uraian di atas akan menggunakan kerangka analisis menggunaan model yang digunakan oleh Dennis J.D. Sondale, A Comprehensive Mapping of Conflict and Conflict Resolution: A Three Pillar Approach.[ii] Menurut Sandole, ada 3 pilar dalam pemetaan konflik, yaitu:

(1)    Pilar 1: Konflik Laten

1.       Pihak yang terlibat
-          Konflik yang diuraikan di atas melibatkan seluruh aktor, yaitu: (a) individu; (b) kelompok; (c) organisasi; (d) masyarakat, dan (e) wilayah/region. Meskipun yang paling menonjol adalah konflik antar kelompok, organisasi dan masyarakat.

2.       Isu
-          Konflik tersebut sangat kompleks dan bersifat struktural karena mempengaruhi seluruh sistem  baik itu data/kepercayaan, kepentingan misalnya kontrol atas sumberdaya, hubungan, nilai, dan lainnya.
-          Konflik tersebut bukan berupa upaya penguasaan fisik/teritorial (konflik klasik), namun bersifat multi-isu: ideologi, pengaruh, ekonomi, dan lainnya.
-          Konflik tersebut juga merupakan campuran konflik realistik sekaligus nonrealistik, karena sebagian didasarkan atas alasan kepentingan konkret antar pihak, dan sebagian yang lain mungkin lebih bersifat emosional akibat prasangka, seperti kemarahan rakyat akibat propaganda kekejaman PKI.

3.       Tujuan
-          Tujuan konflik secara umum mencakup kedua tipe tujuan, yaitu: (a) Perubahan alat/sarana dalam sistem, yaitu perubahan pembangunan populis menjadi modernis; (b) Perubahan sistem itu sendiri, baik status-quo maintaining maupun status-quo changing, yaitu menciptakan sistem yang didominasi militer dan teknokrat;
-          Konflik tersebut bertujuan ‘zero sum (win-lose)’ dimana Militer Indonesia yang didukung Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sebagai pemenang, dan PKI/komunisme sebagai pihak yang kalah.

4.       Alat
-          Dari tiga jenis alat, yaitu (a) perang à saling menghancurkan); (b) games à saling mengalahkan; (c) debat à saling berargumen mempengaruhi, maka konflik tersebut menggunakan perang dengan tujuan menghancurkan.

5.       Orientasi konflik dan konflik resolusi
-          Konflik tersebut berorientasi kompetitif yang bermuatan permusuhan, konfrontatif atau zero-sum game;
-          Konflik tersebut termasuk dalam Perspektif Realpolitik, yang berasosiasi dengan pendekatan kompetisi yang mengarah pada ‘pertempuran’ dan hasil yang merusak (destructive outcome);
-          Konflik tersebut termasuk kategori Aggressive Manifest Conflit Process (AMCP) atau konflik dengan kekerasan.

6.       Lingkungan konflik dan konflik resolusi
-          Konflik tersebut dapat dikatakan merupakan campuran dari konflik Endogenous dan Exogenous. Karena  konflik di Indonesia merupakan bagian dari konflik internasional di era Perang Dingin. Namun juga bersifat Exogenous karena tampaknya tidak ada mekanisme kontrol dan penyelesaian konflik, dan lebih bersifat zero-sum tadi.

(2)    Pilar 2: Penyebab dan kondisi konflik

1.       Penyebab dan kondisi konflik:
-          Konflik tersebut lebih menonjol pada level societal (politik, ekonomi dan sosial), dan level internasional. Di level societal adalah perebutan pengaruh antara militer dan PKI terhadap Sukarno dan penguasaan pemerintahan berikut akses ke sumberdaya ekonomi di Indonesia. Di level internasional adalah perebutan pengaruh ideologis antara Blok Demokrasi Liberal dan Blok Komunis dalam Perang Dingin, sekaligus akses ke sumberdaya di Indonesia.

2.   Level konflik:
-          Antar personal à Level konflik sudah sampai tingkatan pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan;
-          Antar kelompok/grup à Level konflik sampai ke perang bersenjata (meskipun pada konflik PKI dan militer, perang yang terjadi sangat tidak seimbang karena nyaris tidak ada perlawanan berarti darikekuatan militer/paramiliter PKI;
-          Antar organisasi à Level konflik sampai ke penghancuran, pembubaran dan pelarangan organisasi PKI;
-          Antar societal à Level konflik sampai pada perubahan paradigma dan orientasi pemerintah, pembangunan dan masyarakat.

(3)    Pilar 3: Perspektif dan proses intevensi konflik

1.       Perspektif dan proses intevensi konflik
-          Secara umum pada konflik tersebut tidak ada pihak ketiga yang berperan melakukan pencegahan, manajemen, penyelesaian, resolusi, dan transformasi konflik. Karena konflik terbuka dan dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia juga merupakan bagian dari pertarungan kekuatan-kekuatan politik utama di dunia saat itu. Dalam konflik militer (yang didukung Amerika dan sekutunya) dengan PKI, konflik ‘berujung’ pada kekalahan total satu pihak (PKI) dan kemenangan militer.





Endnotes:
[i] Ditulis oleh Candra Kusuma, Julia Kalmirah dan Whisnu Yonar, 24 November 2011.




---------------------------------------------
Judul          : Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter                            Rezim Orde Baru.
Penulis       : Bradley R. Simpson
Tahun        : 2010


Tidak ada komentar: