Baca

Baca

Rabu, 12 Maret 2014

“Neo-Orientalisme dan Academic Dependency"


Oleh: C. Kusuma

Orientalisme Lama dan Baru:
Syed Farid Alatas (Associate Professor pada Department of Sociology, University of Singapore) mengemukakan adanya dua jenis Orientalisme yang berkembang di masyarakat dunia, yaitu: (a) Orientalisme Lama. Ditandai dengan berkembangnya semangat anti Timur, berbagai dikotomi (Barat = pintar, Timur = bodoh;  Barat = rajin, Timur = pemalas, dll.), yang didasarkan berbagai prasangka dan stereotype yang umumnya bersifat merendahkan. Intinya, Barat lebih unggul dan Timur lemah. Namun dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan relatif berhasil mengatasi (mengurangi?) Orientalisme Lama ini; (b) Orientalisme Baru. Berkenaan dengan dominasi pengetahuan versi Barat dan menggunakan berbagai standar (istilah/definisi, metode, cara analisis, kesimpulan) dari Barat (white man/kulit putih). Akibatnya, pengetahuan masyarakat lokal/minoritas menjadi terpinggirkan. Sebagai contoh, menurut Al Biruni, di masa lalu agama-agama lokal di India disebut diantaranya Brahma, Syiwa, dll. Namun oleh kaum kolonial, agama-agama itu dianggap sebagai satu saja yaitu Hindu. Sementara agama-agama awal tadi lebih dianggap sebagai sekte saja.

Dalam Orientalisme Baru ini, konsep dan pengetahuan lokal diabaikan dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Pada akhirnya, ilmu sosial di seluruh negara dipengaruhi dan dikuasai oleh ilmu-ilmu dari Barat, khususnya dari 3 sumber utama ilmu pengetahuan Barat saat ini, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Perancis (khususnya yang menyangkut negara-negara eks jajahannya).

Indikasi dari penguasaan tersebut paling terlihat dari penggunaan perspektif dan istilah Barat terhadap berbagai fenomena sosial di dunia. Contoh, dalam berbagai teori/buku, istilah ‘religion’ (agama), ‘fundamentalism’, dan lainnya, semua diambil dari perspektif agama Kristen. Dalam kasus ini, agama-agama lain, hanya dipandang sebagai ‘obyek kajian’ semata, dan bukan dianggap sebagai sumber pengetahuan, karena pendekatan yang digunakan semuanya menggunakan kacamata Barat tadi. Akibatnya ilmu-ilmu sosial Barat justru semakin berkembang, sementara ilmu lokal justru makin terabaikan dan punah.

Masalahnya, kalangan akademisi di Timur juga tidak menganggap bahasa dan pengetahuan masyarakat kita sendiri sebagai sumber pengetahuan ‘yang baru’. Para akademisi di Timur hanya belajar di dan/atau dari sumber-sumber Barat, dan menganalisis masyarakat Timur dengan perspektif Barat tersebut. Sebagai contoh, akademisi Timur hanya menggunakan pemikiran Ilmu Khaldun sebagai sumber informasi, dan tidak mengembangkan metode berpikir yang digunakannya.

Captive Mind dan Academic Dependency:
Alatas mengutip konsep yang diajukan oleh Syed Husein Alatas (ayahnya sendiri), mengenai Captive Mind (dalam bahasa Indonesia mungkin dapat diterjemahkan sebagai “Ketertawanan Mental”) yang diperkenalkan pada tahun 1972. Konsep tersebut pada intinya adalah mengenai bagaimaa pikiran dikuasai oleh konsep-konsep dari luar (Barat), sehingga apa yang tersisa di masyarakat kita hanyal kemampuan meniru saja, dan hal ini sudah sangat meresap bahkan di komunitas intelektual kita sendiri. Akibatnya, kita menjadi tidak kritis terhadap klaim dan kesimpulan (termasuk didalamnya definisi, metode, dan cara analisis) yang dibuat berdasarkan perspektif dari Barat tersebut (lihat S.F. ALatas, 2011:52). Dampaknya, para intelektual dari Timur kemudian justru mengalami ketidakmampuan dalam memahami masalah dan metode “asli” yang (pernah) ada di komunitasnya sendiri, dan menjadi terkucil dari masalah lokal. Dampak lainnya adalah terciptanya Academic Dependency (Ketergantungan Akademik) yang sangat kuat terhadap ilmu-ilmu dari luar.  

Alatas sendiri memetakan 6 bentuk ketergantungan akademik terhadap Barat tersebut, yaitu:
  1. Ketergantungan gagasan;
  2. Ketergantungan media (khususnya jurnal ilmiah);
  3. Ketergantungan teknologi pendidikan;
  4. Ketergantungan bantuan pendidikan dan pengajaran;
  5. Ketergantungan investasi pendidikan;
  6. Ketergantungan untuk memenuhi permintaan Barat akan skill dan pengetahuan yang mereka butuhkan sesuai standar yang mereka tetapkan.

Selain itu, Alatas juga memaparkan perbedaan antara dunia intelektual/akademisi Barat dan Timur, berkenaan dengan kategori berikut:

Tabel: Perbedaan Cakupan Kajian Akademik di Barat dan Timur

Kajian Empiris
Kajian Teoritis
Kajian negara/ masyarakat sendiri
Kajian negara/ masyarakat lain
Kajian kasus tunggal
Kajian kasus per- bandingan
Barat
v
v
v
v
v
v
Timur
v
-
v
-
v
-
                     Sumber: Ringkasan penulis

Dari perbandingan tersebut terlihat adanya perbedaan area kajian, yang disebabkan oleh kecenderungan di Timur untuk meniru ilmu-ilmu Barat semata (selain faktor dukungan sumberdaya di Timur untuk kebutuhan kajian yang memang sangat jauh dibandingkan dengan di Barat). Akibatnya, perkembangan keilmuan di Timur juga lambat, sementara perkembangan ilmu di Barat sangat cepat, karena mampu mengembangkan teori/metode dengan dukungan kajian empiris yang kuat, melakukan kajian dalam lingkup global, dan dapat melakukan perbandingan. Upaya perlawanan terhadap ketergantungan tersebut sesungguhnya sudah muncul di beberapa wilayah, seperti di Brazil pada tahun 1950-an, di mana tumbuh upaya untuk mem-“pribumi”-kan ilmu-ilmu sosial di Amerika Latin.

Respon yang Diperlukan:
Menghadapi kondisi tersebut, Alatas memandang perlunya “respon kolektif” di Timur, seperti melalui:

  1. Mengkritik kecenderungan peminggiran pengetahuan lokal;
  2. Perlu upaya konkret menghargai masyarakat lokal, sembari tetap mempelajari masyarakat lainnya;
  3. Perlu mempelajari dan mengembangkan pemikiran, metode dan analisis dari para pemikir ilu sosial dari Timur, seperti Ibnu Khaldun, Jose Rizal (Philipina), Ali Syari’ati (Iran), Pramoedya (Indonesia), dll.
  4. Membangun dan menyebarkan pemahaman bahwa konsep/teori Barat sesungguhnya juga bersifat lokal mereka sendiri, dan konsep Timur dapat disejajarkan dengannya;
  5. Menulis dan menyebarkan hasil kajian dalam Bahasa Inggris sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan para pemikir Barat, sehingga mereka tahu pemikiran Timur.

Komentar:
Menurut saya, sulit untuk membantah argumentasi keluarga Alatas (ayah dan anak) di atas. Dominasi Barat dalam keilmuan menurut saya memang nyata terjadi, tidak hanya di ilmu sosial namun juga di ilmu eksak/teknik lainnya. Hal tersebut dapat terjadi, menurut pandangan saya dipengaruhi beberapa faktor:

  1. Karena Barat memiliki kebanggaan akan keilmuannya;
  2. Penghargaan yang tinggi pada dunia akademik dan ‘pekerjaan’ ilmuwan;
  3. Kuatnya tradisi eksplorasi dan pengujian ilmu pengetahuan. ‘Persaingan’ antar pemikir, akademisi, perguruan tinggi dan mungkin juga antar negara di Barat membuat mereka terpacu untuk terus memperdalam dan memperluas kajian di semua aspek kehidupan;
  4. Paradigma positivis dalam keilmuan mereka juga membuat ‘segalanya’ bisa dan harus dapat diseragamkan (diukur dan diperbandingkan);
  5. Dukungan negara dan dunia akademis (dalam bentuk kebijakan, sumberdaya, dana, akses informasi, dll.) bagi pengembangan keilmuan melalui penelitian, percobaan ilmiah, kepustakaan/literatur, diskusi/seminar, dan penulisan hasil kajian di jurnal ilmiah;
  6. Keterkaitan dunia akademik dengan politik/pemerintahan, lembaga keuangan/donor internasional dan dunia bisnis/industri multinasional memperkuat orientasi untuk mengeksplorasi pengetahuan secara global, yang ditandai oleh adanya dukungan kebijakan dan pendanaan tadi, dan disisi lain, digunakannya hasil kajian dari kaum intelektual untuk kepentingan pemerintahan dan bisnis. Meskipun relasi ini juga banyak dikritik karena membuat dunia akademik menjadi berkurang atau bahkan kehilangan independensi dan ‘netralitas’-nya;



Mengacu pada gagasan Alatas mengenai respon Timur terhadap dominasi dan ketergantungan keilmuan, pada sebagian hal, menurut saya, Timur ‘terpaksa’ sekali lagi harus meniru langkah Barat dalam hal membangun kebanggaan keilmuan yang bersumber dari tradisi pengetahuan Timur sendiri (dengan tetap mempelajari Barat tentunya); mengembangkan tradisi eksplorasi dan pengujian keilmuan; memfokuskan pengkajian pengetahuan mengenai dan dari sumber-sumber lokal dengan menggunakan metode dan analisis ‘alternatif’; perlunya dukungan negara dan kerjasama dengan swasta (meski orientasi kepentingan bisnis/industry perlu ‘dibatasi’ agar independensi akademik tetap dapat dipertahankan). Intinya, bagaimana cakupan kajian Timur juga dapat dilakukan seperti di Barat, namun dengan mengedepankan sumber pengetahuan, metode, analisis, teori dan tentunya pemikir dari Timur sendiri.

Tidak ada komentar: